Pilihan Editor

Sang Pendidik Dalam Untaian Syair

"Sang Pendidik dalam Untaian Syair" adalah sebuah karya yang menghimpun puisi-puisi yang menggambarkan dedikasi dan peran penting ...

Suto Mencari Bapa - Puisi Balada WS Rendra



Namaku Suto

ketika aku lahir 
hujan turun dengan lebatnya 
di ujung senjakala. 
Sebagai bayi tubuhku terlalu besar. 
Aku lahir dengan kaki lebih dulu.
Ibuku berteriak: “Aaak !“ — lalu mati. 


Begitulah aku lahir tanpa ibu. 
Tangisku keras mengalahkan hujan. 
Kilat menggelegar bertalu-talu 
aku tandingi dengan tangisku. 


Ayahku Tuan Besar. 
Rumah besar. Harta besar. 
Kuasa besar. Kakinya besar. 
Pegawainya besar pula jumlahnya. 

Ia melihat ibuku mati. 
Ia cium keningnya, 
sambil meneteskan air-mata. 
Lalu ia memandang padaku, 
dan kepada seorang pelayan ía berkata: 
“Asuhlah ia di gedung samping. 
Cukupilah kebutuhannya. 
Tangisnya terlalu kuat. 
Sungguh terlalu keras suaranya.” 

Umurku sepuluh bulan 
aku bisa berjalan. 
Umurku setahun aku bicara. 
Dengan kuat aku hisap tetek babu, 
aku kempit pinggangnya 
dengan pahaku. 
Setelah umur dua tahun, 
aku menggambar dan menyanyi. 


Seluruh lantai 
dengan kapur aku gambari. 
Seluruh tembok 
dengan arang aku coreti. 
Dan aku menggambar sambil menyanyi. 


Babu pengasuhku sering berkata: 
“Sekali waktu ayahanda akan murka. 
Lantai dan tembok bukan tempat menggambar. 
Dan lagijangan terlalu keras-keras bernyanyi.” 

Aku tidak mengindahkan 
kata-kata pengasuhku. 
Permainanku yang utama 
adalah menggambar dan bernyanyi. 
Di situlah aku mendapat kepuasan. 


Pada suatu hari 
ketika umurku lewat empat tahun 
ayahku datang dan berkata: 
“Aku membawa hadiah untukmu. 
Inilah pinsil dan kertas gambar. 
Jangan lagi lantai dan tembok kamu gambari.” 


“Aku tidak mau pinsil dan kertas gambar. 
Terlalu kecil. 
Aku suka menggambar besar. 
Aku suka tembok dan lantai.” 

“Apakah kamu hanya suka gajah ?“ 

“Tidak 
aku menggambar orang dan kuda. 
Tetapi besar-besar. Selalu besar-besar.” 

“Kamu bengal! 
Aku juga tidak senang 
kamu terlalu keras menyanyi.” 


“Aku ingin suling !“ sahutku. 


“Tidak boleh !“ kata ayahku. 
“Suling akan menambah kegaduhan.” 


Di hari ulang tahunku yang kelima 
aku datangi penjaga gudang, 
seorang pegawai yang sudah tua. 
Aku jambak rambutnya, 
dan aku berkata: 
“Berikan padaku sulingmu !“ 
Ia menolak dan meronta. 
Aku pukul kepalanya dengan kayu. 
Ia pingsan. Lalu aku curi sulingnya. 


Pada suatu siang, selesai makan, 
aku meniup sulingku. 
Aku teringat dongeng orang tentang ibu. 
Aku lebih lebur ke dalam sulingku. 


Tiba-tiba pengawal ayahku datang: 
“Tuan Muda 
ayahanda sedang akan beradu 
permainan suling Anda 
sangat mengganggu tidur siangnya.” 


“Aku bersuling mengenang ibu. 
Janganlah aku kamu ajak bicara. 
Pergilah kamu !“ 

Tidak lama kemudian 
pengawal itu datang lagi: 
“Maaf Tuan Muda 
tetapi beginilah titah ayahanda.” 
Lalu aku dibekuk dan dipanggulnya. 


Aku dibawa ke rumah besar. 
Diletakkan aku di lantai pendopo 
ayahku berdiri di depanku. 


“Kamu bengal !“ kata ayahku. 
“Sejak bayi suaramu terlalu keras. 
Tangismu keras. Nyanyimu keras. 
Kamu adalah kegaduhan dalam hidupku. 
Aku tidak suka kepadamu !“ 


Aku duduk di lantai. 
Aku tatap mata ayahku. 
Aku tiup suling 
sambil menatap mata ayahku. 
Yang kupikir adalah ibuku. 


Alis-mata ayahku terangkat naik. 
Napasnya menjadi deras. 
Ia membungkuk 
lalu menampar pipiku. 
Sulingku terpelanting. 
Aku terpelanting. 
Darah keluar dan mulutku. 
Aku usap dengan tangan 
lalu aku tatap ayahku. 


“Singkirkan ía dan sini !“ 
titah ayahku, “Aku membuangnya !“ 


Pengawal menyeretku 
dan melemparkan aku ke luar halaman. 
Di tepi jalan aku menangis. 
Capek menangis aku menyanyi. 
Akhirnya hari senja. 


Aku berdiri. 
Aku hampini gerbang halaman 
dan berkata kepada penjaganya: 
“Buka gerbang. Aku mau masuk.” 


Penjaga itu menggelengkan kepala. 
“Menurut titah ayahanda 
Anda tidak boleh masuk. 
Anda sudah dibuang. 
Pergilah jauh, ke dalam kegelapan.” 


Malam gelap sekali. 
Suara serangga lebih tajam kedengarannya. 
Aku merasa tergetar. 
Meskipun kecut, aku kepalkan tanganku. 
Aku berlari, menyerbu kegelapan. 


Beberapa jam berlari 
akhirnya aku sampai ke pasar. 
Capek dan lapar 
aku tidur di atas bangku. 


Hari berikutnya aku berjalan lagi 
tanpa tahu ke mana arahnya. 
Di siang hari aku tak kuasa menahan lapar. 
Aku hampiri seorang lelaki di pinggir toko. 
Aku tarik lengan bajunya 
dan aku acungkan telapak tanganku. 
Ia menatapku. 
Aku membalas menatapnya. 
Ia terpesona. Aku menatapnya. 
“Anak cakep !“ katanya. 
Lalu ia pungut uang dan sakunya 
diberikan kepadaku. 

Ketika aku makan di pasar 
banyak anak merubungku. 
Pakaian mereka compang-camping, 
mata beringas, badan kotor. 

Seorang anak yang terbesar 
menghampiriku dan berkata: 
“Kamu anak baru !“ 
Aku tidak menyahut. 
Dalam hati aku senang mereka. 
“Siapa namamu ?“ 
Aku tidak menyahut. 
Aku kurang senang bau tubuhnya. 
“Kamu sombong !“ katanya. 
“Jangan ganggu !“ kataku. 
Semua anak tertawa. 
Yang satu itu menjadi gemetar 
dengan muka merah padam. 
Ia julurkan tangannya. 
Aku dicekiknya. 
Lalu aku tendang kemaluannya. 


Kami berkelahi. 
Semua anak mengeroyokku. 
Darah mengalir dari kepalaku. 
Darah mengalir dari wajahku. 
Dunia berputan. Aku pingsan. 


Di malam harinya 
dengan kepala dan muka penuh luka, 
dengan seluruh tubuh merasa kaku. 
Aku pergi mencari mereka. 


Aku lihat mereka tidur di bangsal pasar. 
Pemimpinnya tidur di pojokan. 
Aku pergi mencari api. 
Lalu aku kembali dan membakar bangsal pasar. 


Lintang pukang mereka berlari. 
Aku lempari mereka dengan batu. 
Pemimpinnya aku hampiri. 
Ia terlambat berdiri. 
Aku pukul kepalanya dengan bata. 
Ia mendelik dan berkata: “Kamu iblis !” 
Lalu ia tak sadarkan diri. Barangkali mati. 


Kemudian aku melarikan diri. 
Sejak saat itu aku selalu berpindah-pindah. 
Mengembara. Ke mana saja arahnya. 
Dari kota ke kota seperti menghitung gundu. 
Dan desa ke desa seperti menghitung kenangan. 


Pada waktu umurku sepuluh tahun 
aku kumpulkan pengemis-pengemis kecil 
aku ajari menyanyi, 
main gendang, suling dan rebana. 


Kami mengemis sambil menyanyi. 
Dar kota ke kota seperti merangkai merjan. 
Dari desa ke desa seperti merangkai bunga. 

Ketika usiaku dua belas tahun 
pecahlah perang. 
Tentara asing menduduki negara. 
Aku dan teman-temanku lari 
masuk ke dalam hutan. 


Kami hidup dari mencuri 
kami hidup dari buah-buahan 
kami tidak lagi bisa bernyanyi. 
Anak-anak yang hilang 
menggabung kepada kami. 


Pada waktu usiaku enam belas tahun 
perang selesai. Musuh pergi. 
Kami turun kembali ke kota. 
Beberapa anak pergi 
mencari orang tuanya. 


“Siapa orang tuamu ?“ 
salah sorang bertanya kepadaku. 
“Aku anak kuntilanak !“ 
jawabku. 


Dan lalu pikiranku melayang. 
Serasa aku terangkat dari tanah. 
Debar jantungku menjadi pelan. 
Ubun-ubun kepalaku serasa terbuka. 


Aku teringat rumah ayahku. 


Aku mencuri cat. 
Di malam hari aku membuat gambar: 
di aspal jalan, di tembok-tembok. 
Di siang hari aku pergi ke hutan 
omong-omong dengan pohonan. 
Aku merasa sunyi, melayang-layang. 


Tujuh hari aku merasa aneh. 
Pada hari ketujuh aku naik ke gunung. 
Di puncaknya memandang ke bawah 
melihat dunia yang luas. 
Lalu memandang ke atas 
melihat langit. 
Dan di kejauhan 
langit dan bumi bertemu di cakrawala. 

Maka pada malam harinya, 
keadaan gelap gulita. 
Mendung menutupi bintang-bintang. 
Angin menyapu dan menderu. 


Di dalam kegelapan aku berdiri 
aku berseru sekuat tenaga: 
“Ayah, aku datang mencarimu !“ 


Kemudian teman-teman aku kumpulkan. 
“Kita menyanyi dan mengemis lagi !“ kataku. 
“Kita akan mengembara. 
Aku ingin mencari ayahku.” 


Tiba-tiba teman-temanku terpaku. 
Ada yang memalingkan muka. 
Ada yang menundukkan kepala. 
Mereka meneteskan air mata. 


Salah satu berkata: 
“Akujuga ingin mencari bapa.” 
Segera yang lain bicara sama. 
Mereka tidak ingin sebatang-kara. 


“Kali mengalir menuju lautan. 
Langit dan bumi 
bertemu di cakrawala. 
Kita akan pergi mencari bapa,” 
begitu kataku kepada mereka. 


Tujuh tahun kami mengembara. 
Dari kota ke kota seperti menghitung bintang. 
Dari desa ke desa seperti menghitung mega. 


Dan setiap kali 
ada yang datang kepada kami 
seraya berkata: 
“Akujuga mencari bapa.” 


Maka barisan kami semakin besar. 
Kami mencegat kereta api. 
Kami acungkan tangan. 
Dan kepada masinis aku berkata: 
“Barisan kami ini 
akan menumpang di atas gerbong. 
Kami semua mencari bapa.” 


Masinis itu berdiri mengangkang. 
Kedua matanya tidak sama besarnya, 
menatap kepadaku. 
Aku pun juga menatapnya. 
“Aku seperti pernah melihatmu!” katanya. 

Dua orang temanku 
menghampiri masinis itu 
dan mencekik lehernya. 
“Apajawabmu ?“ tanyaku. 
“Naiklah !” katanya. 
Lalu teman-teman melepas lehernya.

Masinis itu menangis terguncang-guncang. 
Ia menubruk dan memelukku. 
“Aku pun mencari bapa. 
Empat puluh dua tahun mencari bapa.” 
Begitu ia berkata sembari tersedu. 


Kereta api menderu — 
Kami semua mencari bapa. 
Masinis dan penumpang juga. 


Kereta api menderu: jawaban tidak menentu. —- 
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa. 
Dan kota ke kota: kami rampok toko-tokonya. — 
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa. 
Dan desa ke desa: kami rampok panennya. — 
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa. 


Kereta api menembus malam, 
menembus siang, 
menembus minggu dan bulan, 
menembus tahun — 
tujuh tahun. 


Kereta api yang menderu terhenti. 
Waktu siang, matahari di puncak kepala. 
Seorang gembrot mengangkang di jalan kereta. 
Tangannya diacungkan 
dan di belakangnya 
ada seratus anak buahnya. 
Si gembrot adalah penyamun yang ternama. 


“Suto ! Keluarlah kamu !“ ia berseru. 


Aku keluar. Melangkah ke depannya. 
“Kamu mencari bapa. 
Aku adalah bapamu. 
Dan seratus anak buahku mi 
adalah bapa anak buahmu”. 
Aku menatap matanya 
Aku melihat semak belukar, 
ketonggeng, lipan dan ular. 
Aku berkata: “Enyahlah kamu! 
Aku telah menatap kamu. 
Aku tidak melihat langit dan bumi. 
Kamu bukan ayahku! 
Seratus buah anak buahmu 
sudah teler kemaluannya. 
Mereka tak punya anak !“ 


Segera si gembrot berkata pu1a 
“Dengarkan, Suto. 
Rumahku besar. Pelayanku seribu. 
Istriku mati ketika melahirkan kamu. 
Lalu aku menikah sembilan kali lagi. 
Kamu dulu suka menggambar 
di lantai dan di tembok. 
Dan kamu suka melenguh seperti lembu. 
Kamu meniup suling untuk menggangguku, 
karena itu aku gampar kamu. 
Tetapi kamu membandel. 
Malah menatapku dengan matamu yang bego. 
Lalu aku usir kamu. 
Kamu lihat sekarang, 
aku adalah ayahmu !“ 


Begitu ia selesai ngomong, 
tanganku yang kiri 
menonjok ulu hatinya. 
Dan ketika ia terbungkuk 
aku jitak ubun-ubunnya. 
Ia glangsaran. 
Dengan injakan kaki 
aku patahkan lengannya. 
“Sarat !“ kataku. “Kamu bukan ayahku.” 


Kereta api menderu: menyemburkan api rindu. 
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa. 
Dari kota ke kota: kami berdebar dan bertanya. 
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa. 
Dari desa ke desa: kami membaca kuburan tua. 
Ya, bapa. Ya, bapa. ‘Ya, bapa. 
Kereta api menembus tahun, menembus barat, 
menembus utara, 
berputar melingkar — 
sebelas tahun lamanya. 


Tiba-tiba kereta api terhenti. 
Di depan menghadang penglihatan istimewa: 
seorang tua yang tampan, 
dengan dandanan adat yang sempurna, 
menghadang di jalan. 
Di depannya tergelar hidangan pesta: 
buah-buahan, sate, ayam panggang, 
danjuga para wanita. 
Di belakangnya truk-truk yang baru 
penuh dengan barang-barang yang di-pak rapi 
semuanya baru datang dan gudang. 


“Aku mohon ketemu Suto !“ katanya. 
Aku keluar: “Namaku Suto.” 


“Aku persembahkan hantaran ini,” katanya pula. 
“Enam puluh tahun aku menunggu. 
Warta tentangmu telah tersebar. 
Kini aku gembira bisa bertemu. 
Bisa mempersembahkan tanda-mataku.” 


“Pemberianmu aku ambil. Terima kasih” 


“Suto. Ingatlah: siapakah aku? Akulah bapamu!” 
Aku menatap matanya. 
Aku lihat banyak cahaya kunang-kunang, 
permainan reklame neon, 
dan gorden kain tetoron. 

Sambil mendekat, aku berkata kepadanya: 
“Mulutmu bau keranjang sampah. 
Kamu bukan bapaku. 
Sekarang: enyah!” 


Ia menangis; Mengusap air mata dan berkata: 
“Waktu kamu lahir 
hujan turun dengan lebatnya. 
Kamu dibesarkan di gedung samping. 
Kamu suka menggambar. 
Kamu pukul penjaga gudang dan kamu ambil sulingnya. 
Anakku, apakah kamu sudah lupa kepadaku ?“ 


Aku ludahi mukanya. 
Aku buka celanaku, 
dan aku kencingi hidangan suguhannya. 
Dengan pisau roti aku potong telinga kirinya. 
“Minggat !“ seruku. Dan kereta menderu. 


Kereta api menderu: membelah jiwa. — 
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa. 
Dari kota ke kota: membelah raga. __
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa. 
Dari desa ke desa: membelah rasa. __
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa. 


Kereta api menyelam lautan. 
Kereta api naik ke gunung-gunung. 
Kereta api terbang di udara. 
Ya, Tuhan, dua puluh tahun lamanya. 


Tiba-tiba kereta api terhenti. 
Hening. Tak ada apa-apa yang terjadi. 
Cuma seorang wanita 
dengan kebaya berenda. 
Ia berdiri menunduk, 
menghadang di tengah jalan. 


Masmis berseru: 
“Apa maumu ?“ — Hening. 
“Siapakah kamu ?“ — Hening. 
“Apakah kamu ingin mati ?“ — Hcning. 


Aku turun dan menatap kepadanya. 
Cahaya bintang remang-remang. 
Tak bisa kulihat matanya. 
Aku menatap, aku melihat teratai. 


“Aku ingin kamu bicara!” kataku. 
“Namaku Suto,” sambungku pula. 
“Aku tahu.” Suaranya seakan-akan datang dan lembah. 
“Aku mencari bapa.” 
“Aku tahu.” 
“Apakah kamu akan mengaku bapaku?” 
Ia meludah. 
“Siapakah namamu?” tanyaku. 
“Gula-gula,” jawabnya. 
“Apa pekerjaanmu?” 
“Lonte.” 


Aku melangkah lebih maju 
dan kembali bertanya: 
“Kamu mau apa ?“ 
“Aku akan naik keretamu.” 
Lalu ia menengadah. 
Matanya menatap padaku. 
Aku melihat samodra 
aku melihat kaki langit 
aim melihat surya menikah dengan rembulan. 
“Silahkan naik,” kataku. 


Aku gandeng ia naik ke gerbong 
dan seterusnya kami tetap bergandengan. 
Lama-lama aku merasa 
aku tidak mau melepas gandengan itu. 
Aku usap punggung tangannya 
dengan ibu jariku. 
Aku melihat perahu di telaga. 


Kereta api menderu: aku pegang dadanya. 
Peluit kereta berseru: aku raba pahanya. 
Desir angin masukjendela: astaga! 
“Aku terpikat kamu,” kataku. 
“Tahukah kenapa aku datang?” ia bertanya. 
“Kenapa ?“ 
“Aku ingin tidur dengan semua teman-temanmu.” 
“Tetapi aku ingin tidur dengan kamu.” 
“Ya, itu bisa. 
Tetapi aku juga ingin tidur 
dengan teman-temanmu.” 
“Apakah kamu…. 
“Kuat, maksudmu. ?“ 
“Ya.”
“Lihat saja nanti.” 


Aku tidak berdaya. 
Aku terpikat kepadanya. 
Aku melihat batang-batang pimping 
di bawah sinar rembulan. 


Wanita itu berkata: 
“Hentikan kereta!” 


Kereta berhenti. 
Kami berada di punggung gunung. 
Lerengnya landai. 
Di bawah adalah lembah. 
Hari terang tanah. 
Fajar akan tiba. 

kami semua keluar dan kereta. 
Wanita itu berdiri di tempat ketinggian. 
Tubuhnya tampak sintal. 
Wajahnya cantik. 
Rambut-rambut lembut menghias dahinya. 
Pinggul dan dadanya cukup semok. 


Kami semua terdiam. Terpesona. 
Fajar memancar dan dirinya: 
“Orang-orang yang mencari bapa, 
orang-orang dan kereta yang menderu, 
aku datang kepadarnu.” 
Begitu ia berseru 
dengan resap dan berwibawa. 
“Aku ingin tidur dengan kamu semua.” 


Orang-orang menganga keheranan 
“Tentu saja tidak bersama-sama, 
tetapi satu per satu.” 
Orang-orang menggosok matanya, 
mencubit pahanya sendiri. 
mereka tidak bermimpi. 
Dan, lalu 
teganglah semua kemaluan mereka. 

Keributan hampir terjadi 
tetapi aku segera berseru: 
“Aku yang lebih dulu!” 

Keributan terhenti 
dan wanita itu berkata: 
“Inilah satu hal yang penting. 
Satu upacara yang sungguh-sungguh. Karena itu ada urutannya.” 
“Ya, aku nomor satu!” 
“Boleh saja. Begitulah sepantasnya. 
Kamu akan membuka 
dan menutup acara. 
Tetapi yang aku maksud urutan 
bukan itu. 
Melainkan urutan tata-cara. 
Pertama tentu saja: 
kamu semua harus menyikat gigi. 
Lalu mandi. 
Kemudian kita sarapan bersama. 
Setelah itu duduk-duduk lebih dulu. Baru kemudian kita mulai. 
tanpa tata-cara mi, maksud aku gagalkan.” 


“Kami semua akan mematuhinya!” 
kataku. Dan semua setuju. 
Sementara itu fajar telah sempurna. 


Ia memimpin kami turun ke lembah. 
Kami masuk ke dalam kali 
dan mandi bersama. 


Di air kali terbayang awan. 
Sejuknya air masuk ke badan. 
Sambil mandi memandang hutan. 


Kami duduk di dalam kali. 
Di dalam perut terkumpul hawa murni. 
Hawa naik ke puncak kepala. 
Ubun-ubun serasa terbuka. 


Dan lalu kami sarapan di dalam hutan. 
Rasa nasi, bau kayu api yang terbakar, 
terasa satu di dalam keserasian. 
Hutan, aku dan teman-teman 
serasa saling terlibat 
sejak jaman purbakala. 


Sehabis sarapan, 
kami rebah memandang mega. 
Mendengar angin di antara daunan. 


Semua berjalan 
sesuai dengan anjurannya. 
Kemudian ia menggandengku 
kembali ke kereta 
diikuti orang-orang lainnya. 


Lalu masuklah kami ke dalam gerbong. 
Yang lain pada antri menunggu. 

Ia membuka pakaianku. 
Pelan-pelan. Satu per satu. 
Lalu tangannya meraba kemaluanku. 
Dan ia masukkan lidahnya 
ke dalam mulutku. 


Selapik seketiduran. 
Sebumi dan selangit. 
Dua badan satu jiwa. 
Dua jiwa satu badan. 
Bulan dan surya telah lebur 
menjadi kosong. 


Begitulah telah terjadi. Bergoyang-goyang. 
Kereta api membelah bumi. 
Kami bertapa dan berkata: 
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa. 
Kereta api membelah langit. 
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa. 
Dan kami berseru: Bapa kami di sorga. 
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa. 


Kereta api menderu: berabad-abad lamanya. 
Tiba-tiba kami saling memandang. 
Menatap dalam-dalam. Melihat. 
Dan saling berkata: 
“Astaga. Baru sekarang aku sadari, 
kamulah bapaku!” 

Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa. 
Dari kota ke kota: kami berkarya, kami bekerja. 
Kepada orang di jalan kami berkata: 
“Bapa. Aku putramu.” 


Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa. 
Dari desa ke desa: kami mengolah, kami mencipta. 
Dan kepada para petani kami berkata: 
“Kamulah bapaku. Aku pulang untuk bekerja.” 
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya,. bapa. 

Bapa kami yang berada di sorga 
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa. 
Kyrie, Eleison 
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa. 
Allahu Akbar 
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa. 
Namyo - Ho - Ren - Ge - Kyo 
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa. 
Aum. Mani. Padme. Hum 
Ya, bapa. Ya, bapa. Ya, bapa. 
Ya, Allah. Ya, Allah. Ya, Allah. 
Laa illaha illallah. 
Laa illaha ilallah. 
Laa illaha ilallah. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Suto Mencari Bapa - Puisi Balada WS Rendra"

Posting Komentar