Oleh Doddi Ahmad Fauji
Saya menerima naskah dalam buku ini, yang merupakan kumpulan puisi jenis akrostik karya siswa, guru, staf dan Kepala SMPN Satap Cibinong, Purwakarta. Naskah ini untuk dibaca, dan sejatinya dikoreksi, di-layout (tata letak isi), selanjutnya diterbitkan. Pekerjaan ini, sejak 2016, terasa sudah menjadi kerja mekanis bagi saya. Apa-apa yang telah menjadi mekanis, banyak orang yang bisa mengerjakannya, sepanjang dia bisa tulis-baca, dapat memahami fungsi kata dan kalimat, punya kepekaan estetika visul, apalagi jika rajin studi komparasi atau membandingkan hasil kerjanya, terhadap hasil kerja orang lain yang sudah mahir. Tidak butuh pendidikan tinggi, yang penting dia mau belajar dan bersungguh-sungguh, saya yakin dia akan bisa menyelesaikan pekerjaan yang disebut mekanis di atas.
Sejatinya saya harus mengedit naskah, dan bukan hanya membaca atau sekedar mengoreksi. Buku yang terbit, selaiknya memiliki tingkat keterbacaan bagus, hingga isinya dapat dipahami oleh segmen pembacanya. Namun sejujurnya, tak semua naskah dapat diedit seperti itu, karena keterbatasan waktu, anggaran, dan tujuan tulisan diterbitkan menjadi buku. Untuk apa sebenarnya karya tulis diterbitkan menjadi buku?
Ada banyak alasan karya tulis diterbitkan menjadi buku ber-ISBN untuk saat ini, dari mulai yang filosofis, pragmatis, hingga tujuan perniagaan. Di tengah makin mudahnya informasi didapat, sementara penjualan buku terasa lesu, penerbitan buku justru makin bergemuruh.
Bukan penerbitan bukunya yang paling bernilai, tapi pijar api penciptaan dalam dada siswa, yang dituangkan menjadi aksara, semoga mewujud jadi imajinasi, dan kelak dituangkan ke dalam penciptaan benda-benda. Saya selalu meyakini, awal penciptaan dimulai dari kata, kemudian menjelma imajinasi, dan mewujud jadi benda-benda. Allah berfirman, bila Ia menghendaki sesuatu, Ia akan berkata “Kun”, lalu “Fayakun” (Jadi, maka jadilah) : (QS: Yasin ayat 82).
Terkadang puisi tampak sederhana saat dibaca, mudah untuk ditulis, tapi ada puisi yang begitu rumit untuk dipahami. Namun baik terbaca mudah atau rumit, menulis dan menilai puisi membutuhkan kesungguhan, dan kesungguhan itulah awal dari semua keberhasilan, sebagaimana tertuang dalam pepatah orang Arab: manjada wajada (anu keyeng tangtu pareng, atau siapa yang bersungguh-sungguh ia akan beroleh).
Selain menciptakan mesin, komputer atau laptop, telepon dan kamera canggih, ternyata kata-katalah yang mesti diciptakan terlebih dahulu oleh bangsa ini. Selain harus mengimpor peralatan teknologi tepat guna, ternyata kita juga menjadi bangsa yang rajin mengimpor kata dan istilah dari luar. Jika kata saja harus kita impor, apalagi piranti teknologi canggih. Mati kita simak istilah bahasa (lingustik) yang begitu banyak diimpor dari luar: fonem, morfem, sintaksis, paragraf, pragmatika, semiotika, semantika, sufiks, infiks, konfiks, simulfiks, sinonim, homonim, euforia, dan lain-lain. Bahkan istilah untuk ilmu bahasa, kita harus ngimpor.
Anak-anak kita yang menulis puisi akrostik dalam buku ini, yang membaca tulisan saya ini, semoga terinspirasi untuk suatu hari nanti, mereka mulai merintis penciptaan kata sendiri, yang tepat dan sesuai dengan alam, udara, air, tanah, makanan bangsa Nusa-Antara. Setelah mencipta kata, lalu mengembangkan imajinasi, merumuskan falsafah, moga bisa menciptakan piranti teknologi untuk kelangsungan hidup yang ‘rahmatan lil alamin’.
Orang China dan Jepang, tidak mengadopsi begitu saja kata asing. Mereka menciptakan kata baru, atau mencari padanan yang selaras. Misalnya komputer, di Tiongkok bukan terjemahan lafal asli, tapi istilah ciptaan dalam bahasa Tionghoa: 电脑 (dian nao, dibaca tien nao), yang arti harfiahnya otak listrik.
Bangsa kita akan segera menjadi bangsa modern, dan sejahtera, tapi nanti, setelah mampu menata bahasa yang dimulai dari penciptaan kata, dari penulisan puisi yang serius.
Bandung, 2021
Pemred SituSeni
0 Response to "Puisi, Imajinasi, dan Daya Cipta"
Posting Komentar