Oleh
Doddi Ahmad Fauji
Kenapa manusia
mesti menulis, dan kenapa karya sastra mesti ditulis? Buat apa? Untuk apa?
Saya patut bersyukur, kini makin meruyak orang
yang bergiat dalam menulis, termasuk menulis karya sastra, apakah itu puisi, prosa
(drama jarang ditulis), pun artikel bebas alias esay. Dulu mah waktu kuliah
tahun 1990 hingga 1997 (saya kuliah tepat waktu, 7 tahun), kawan yang suka
menulis tidak sampai 25% dari jumlah yang ada. Sekarang di kampus, mahasiswa
yang suka menulis bisa jadi lebih dari 50%. Juga masyarakat, termasuk tetangga,
yang mulai menulis tampak makin meggeliat. Kemajuankah?
Saya bisa digolongkan ke dalam punggawa kelas puritan nan paedagogis, disebabkan
saya kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS, IKIP Loh.,
dan belum menjadi UPI Bandung, maka ujung dari aktivitas menulis termasuk karya
kreatif sastra, bagi saya adalah sebagai sarana pendidikan. Diksi ‘sastra’ itu
kan dari bahasa Sansakerta, yang artinya media pembelajaran. Sebetulnya jika ‘ngurek’
atau ‘neger’ belut pun jadi sarana pendidikan, maka ‘ngurek’ dan ‘neger’ harus
disebut sebagai sastra pertunjukan, atau pertunjukan sastra.
Dengan kata lain, sastra itu adalah piranti yang berinisial l'art pour homme (kesenian untuk
kemanusiaan), dan bukan semata seni untuk masturbasi seperti sekarang kian
menggejala.
Adapun makna dan tujuan pendidikan, selalu dikembalikan ke Trilogi pendidikan
yang dicetuskan oleh Mas Ki Hadjar Dewantara, yang bunyinya (sudah pada tahu
kan?)
Pada era Mendikbud dijabat oleh kiyai Ing Wardiman Djojonegoro, suka ada
plesetan dari ‘trilogi’ menjadi ‘caturlogi’ pendidikan, yang bunyinya begini:
1. Tut wuri handayani (Jika kau berada di belakang, maka beriloh dorongan kepada yang di depan).
2. Ing madya mangun karsa (jika kau berada di tengah, maka bangunlah gagasan).
3. Ing ngarsa sung tulada (jika kau memiliki karsa, maka jadilah contoh yang baik).
4. Ing Wardiman Djojonegoro (Kalau sekolah atau jadi sastrawan, harus lulus atuh euy, kedah jujur, supaya negara kebawa jaya: Berat Jendral!).
Saya ujug-ujug
teringat sastra ketika di suatu petang kian meremang, dalam rintik hujan masih
mengguyur, dan harus melanjutkan perjalanan dengan samar arah tempuh. Di
hadapan, tampak hutan lebat, kanan bukit, kiri jurang, di seberang jurang
tampak bukit berselimut kabut, matahari sudah lingsir, senja kian temaran
perlahan, dan nyali saya tiba-tiba ciut, karena akan memasuki jalan yang
dipayungi rumpun bambu di kanan kiri, pohon-pohon besar, seorang diri,
berkendara roda dua. Di depan tampak benar-benar poek, dan sinyal googlemap
terlihat lup-lep. Saya ingat meong congkok yang galak, ular piton yang bisa
membelit, maung kajajaden yang suka ujug-ujug hadir di hadapan, atau ririwa dan
bagong teler, dan lain-lain. Dalam hati saya berbisik: Lanjutkan jangan,
lanjutkan atau balik lagi?
Rasa
kasih dan cinta telah mengusir semua ketakutan dan kecemasan. Ia menjelma
sepenggal puisi, lalu puisi jadi jadi mantra untuk mengusir bala, jadi doa yang
meneguhkan hati:
"Sima
aing sima maung. Aing leuwih nyiliwuri batan jurig batan dedemit. Prung
mamprung. Poek jadi caang, owa jeung surili jadi balad, oray nyingray bueuk
unggeuk. Sakabeh sato nu galak atawa harak, taya kawani ka kami, da wungkul Pangeran
nu Kersaning Kawasa. Puah!"
(Auraku arura harimau. Aku lebih halus dari mahluk halus dari memedi. Laju
melajulah. Gelap jadi terang, trimatra jadi kawan, ular kabur burung hantu mengangguk
setuju. Seluruh hewan yang galak dan buas, tiada keberanian di hadapanku,
dan sebab hanya Tuhan yang Maha Kuasa).
Lalu kulalui jalan itu, dan benar saja, tak ada apa-apa. Membayangkan sesuatu
yang menakutkan, seringkali lebih mengerikan dari kenyataan. Rasa takut lebih
menakutkan dari apapun yang benar-benar bisa membuat kita takut. Dan, aku pun
sampai di tujuan.
Di tujuan itulah kudapati kabar, gempa kecil kembali mengguncang Kab. Sukabumi
dan Kab. Cianjur. Sejak 2016, menurut salah satu situs yang memiliki otoritas
perkara gempa, telah 11 kali Kabupaten Sukabumi ditimpa gempa. Hal ini
mengingatkanku pada Gunung Krakatau di lepas laut, yang beberapa kali kentut sebelum
akhirnya bener-benar berak, dengan bau belerang yang bisa membunuh, dan tsunami
yang menelan sekian korban. Dalam sebuah film tentang Krakatau, yang melibatkan
pemain dari Belanda, batuk-batuk itu sebenarnya peringatan, tapi manusia tidak
peka, tidak segera mengungsi, dan ketika ledakan benar-benar terjadi, maka musnahlah
sekian nyawa dicerna buana, dimamah segala yang bertuah.
Lini yang berkali-kali menari di Sukabumi itu, mestinya jadi peringatan bagi
saya, dan mestinya para sastrawan segera menulis prosa atau puisi, esai atau
apapun, yang bermuara pada pendidikan tentang kewaspadaan dan penyelamatan
diri, ya semacam peringatan dini serta migitasi bencana.
Sastra tidak cukup hanya sarana untuk masturbasi, macam keributan dan
meributkan kebesaran NAMA serta pemuatan di media massa. Sastra, mau tak mau, mengingatkan
kepada guru saya, kiyai begawan Wahyu Sulaiman Rendra, yang berujar:
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
Orang memang bebas menulis apapun, mau tentang ngaloco atau masturbasi, mau
tentang renda-renda pakaian atau gincu-gincu kehidupan, mau tentang kegalauan atau
kepicakan mata batin, mau curhat atau mengungkapkan dendam kesumat, mau apapun
adalah bebas. Namun, tulisan akan lebih bermakna dan jadi SASTRA bila bermuara
pada l'arte pour home (kesenian untuk kemanusiaan), yang bermanfaat untuk penyadaran,
kewarasan, dan pemberdayaan kehidupan kini juga generasi yang akan datang.
Sastra yang hanya sarana onani, bahkan terasa memunggungi pernyataan filsuf Renne
Descartes yang bersabda: Cogito er go sum (aku berpikir, maka aku ada).
Para penulis memunggungi pernyataan Descartes itu, dan memelesetkannya menjadi:
Aku berbelanja maka aku ada, atau aku narsis maka aku eksis.
Ya,
saya mesti menulis puisi atau esai, agar menjadi puisi atau mantra, doa atau
singlar, agar saya tidak takut, dan selalu waspada, sekalipun saya berkelana sore
itu, sebenarnya masih di kawasan Bandung, jadi kenapa mesti takut oleh hutan di
Bandung, bukankah sudah tidak ada Maung Bandung? Maung sih ada, di depan kantor
koramil berupa patung, atau dalam yel yel viking.
Bandung adalah tatar yang dilingkung oleh gunung, dan diramalkan akan ‘heurin
ku tangtung’ (padat oleh kerumunan berdiri). Tapi, memang sih, sore itu aku
berkelana bukan di Kota Bandung, tapi di Kabupaten Bandung Barat yang masih memiliki
hutan, serta dihiasi oleh gunung-gunung kecil yang kadang terasa lucu sudah
sejak dari nama-namanya: Gunung Bohong, Gunung Batur, Gunung Kembar,
Gunung-gunungan, dll.
Bandung
150 ribu tahun silam, adalah berupa undakan tanah besar yang diberi nama Gunung
Jayagiri. Ia meledak begitu dahsyat, menyebabkan es mencair di kutub selatan,
dan efekdomino-nya membuat volume laut bertambah, sehingga dataran rendah
seperti di kawasan Sunda dan Sahul, jadi terendam dan sekarang menjadi laut
Jawa di barat, yang memisahkan Pulau Sumatra, Melayu, Kalimantan Jawa, serta perairan
Arafuru di timur, yang memisahkan Pulau Papua dan Benua Australia.
Ini
yang juga perlu kita renungkan, ternyata Sulawesi, Maluku, serta beberapa Pulau
di Sunda Kecil (Bali, NTB, NTT) sedari dulu sudah berpisah, atau dipisahkan
oleh laut. Perpindahan air laut dari dan ke Samudra Pasifik – Samudra Hindia,
itu terjadi melalui laut yang memisahkan Sulawesi dari paparan Sunda dan
Paparan Sahul. Jadi, laut Sulawesi, Maluku, Sunda Kecil dari dulu sudah ada,
dan semakin dalam setelah volume air laut meningkat. Ke dalaman laut Jawa
diperkirakan antara 40 – 80 meter. Sedangkan ke dalaman laut di sekitar
Sulawesi dan Sunda kecil, bisa mencapai 850 meter. Kapal Selam Naggala 402 tenggelam
di laut yang dalam itu, karena sangat mungkin mesinnya tak mampu melawan arus
perpindahan air laut dari dan ke Hindia – Pasifik.
Dulu, sungai dari dataran tinggi yang sekarang disebut Pulau Jawa, mengalir ke
laut yang mengepung Pulau Sulawesi. Sungai itu mengalir ke arah utara, lalu
berbelok ke Timur. Di dataran arah utara, sungai itu bercabang-cabang, banyak
jumlahnya, serupa kali, yang kini kawasan di utara itu disebut mantan kali atau
Kalimantan.
Itulah Bandung, kawasan sisa Gunung Jayagiri. Eh ternyata, ledakan gunung itu
melahirkan anak yang terus membesar, dan seiring dengan laju waktu, anak itu kian
membesar, sehingga kembali menjadi undakan yang diberi nama Gunung Sunda atau Gunung
Purba. Sekira 51 ribu tahun silam, gunung Sunda/Purba itu meledak lagi, dan
makin membuat dataran Jawa yang telah terendam air, dan telah menjadi pulau, ukurannya
bertambah lebar.
Dulu, laut Selatan untuk daerah Bandung itu misalnya, ada di kawasan yang
sekarang disebut dengan perbukitan Pangalengan, Ciwidey, Gununghalu, dll.,
namun karena pantai laut selatan itu ter-uruk oleh tanah ledakan gunung Sunda/Purba,
menyebabkan pantey terkubur dan menjauh dari ordinat kawasan Bandung, atau
seperti yang sekarang kita lihat sebagey pantey selatan Bandung itu berada di
kawasan Jayanti, Cidaun, Sindangbarang, Agrabinta.
Ini yang patut kita renungkan, Ledakan Gunung Jayagiri pada 150-an ribu tahun silam,
menyebabkan lempengan bumi jadi retak, dan tanah yang berada di atas lempengan
pun ikut terbelah. Seiring dengan waktu, belahan tanah itu rapat lagi, tapi
jejaknya masih tertinggal hingga sekarang. Nah, jejak belahan itulah kira-kira
apa yang disebut dengan Patahan.
Terdapat
beberapa patahan di kawasan yang mengelilingi Bandung, dan yang paling terkenal
diberi nama Patahan Lembang, yang membentang dari kaki gunung Tangkubanparahu
hingga ke Pantey Selatan Jawa Barat yang berada di kawasan Jampang, Sukabumi,
serta membentang ke arah Pantey Utara yang berada di kawasan Eretan, Subang.
Bila Patahan Lembang yang sedang tidur itu tiba-tiba 'nguliksik' karena secara
alamiah ingin berganti posisi tidur, maka gerakannya akan terasa sebagey gempa.
Aku benar-benar hawatir, pada suatu hari Patahan Lembang itu ngigow, lalu
mencaci maki orang-orang yang busuk dan kemaruk, maka bencana dan musibah tak
tertanggungkan akan terjadi, seperti ketika Krakatow bukan lagi kentut, namun berak
dan marah.
Maka puisi, prosa, esay, atau apapun yang bisa disebut sastra, yaitu media
pembelajaran, harus memiliki keberpihakan pada dunia pedagogik dan edukatif, atow
apa yang disebut dengan falsafah tetralogi pendidikan butir ‘plesetan’: Ing
Wardiman Djojonegoro (sastra mesti membuat negara ikut jaya).
Sisa ledakan Gunung Sunda, kemudian menjadi kaldera besar, dan lambat laun
menjadi danow besar karena airnya mendingin. Kawah di danow itu tidak aktif
lagi. Magma yang masih mau keluar dari bekas Gunung Sunda, beralih ke celah
yang lebih kecil, dan membentuk gunung baru di kawasan setengah Utara. Gunung
baru yang kecil itulah, yang kini disebut dengan Tangkubanparahu.
Sekira
3500 tahun yang silam, kaldera besar yang kemudian menjadi danow raksasa itu,
mengalami kebocoran melalui sebuah celah, sehingga airnya perlahan mengalir
menuju laut di sebelah utara. Tanah di sekitar aliran air danau itu lambat laun
mengeras, dan itulah yang kemudian disebut dengan sungey Citarum.
Kaldera
yang sudah mengering kemudian tampak jejaknya, mengerucut ke arah bawah secara
landey, hingga bila dilihat dari atas, akan tampak seperti wajan, yang kadang
wajan itu disebut dengan cekungan. Setelah danow purba benar-benar mengering,
wajan besar itu kemudian dihuni oleh manusia yang sekarang disebut Urang Sunda.
Dulu mah, urang Sunda itu disebut urang Ukur, karena Bandung yang sekarang,
pernah diberi nama Tatar Ukur, dengan pemimpinnya yang kesohor bernama Dipati
Ukur. (Bersambung).
0 Response to "ARAH KARYA SASTRA - Bagian 1"
Posting Komentar