Pengantar Editor
Sebagaimana lagu untuk anak-anak
yang jarang dicipta oleh para pemusik, demikian juga cerita untuk anak-anak,
termasuk jarang dicipta oleh para penulis. Padahal jumlah anak-anak Indonesia sangat
banyak. Mereka membutuhkan bacaan yang berkualitas, untuk meningkatkan
perkembangan imajinasi dan budi pekerti.
Ada lima cerita anak-anak yang
ditulis oleh Queen Erni Wardhani, yang sudah dibukukan dengan juluk Boneka Kayu Atang, yang dapat mengisi kekurangan
naskah-naskah yang layak baca, untuk anak-anak setingkat SD dan SMP. Naskah Mawar dari Cihideung, dimuat paling akhir dalam buku tersebut.
“Boneka untuk Atang” adalah salah
satu judul cerita dalam buku ini. Cerita tersebut berhasil menjadi Cerita
Favorit dalam “Lomba Cerita untuk Anak-anak” yang diselenggarakan oleh Balai
Bahasa Jawa Barat pada 2017. Selamat membaca dan mengapresiasi.
Editor,
2017
Oleh Queen Erni
Di perempatan Dago,
seorang wanita mengacungkan setangkai mawar merah, ketika kaca sebuah mobil
sedan hitam terbuka. Tanpa kata-kata, dari dalam mobil itu, menjulur selembar
uang kertas. Lalu berpindahlah bunga harum semerbak dari tangannya. Mawar
merah.
“Terima kasih ...,”
ucapnya sambil setengah membungkuk.
Lampu
merah-kuning-hijau di perem-patan itu menyala hijau. Mobil sedan hitam itupun
berlalu, bersamaan dengan mobil lain yang berimpitan.
”Kita pulang,” kata
wanita itu, mengajak Tika yang sejak tadi duduk di pojokan. Jalan ramai pada
setiap Sabtu sore menjelang senja.
“Ya, Ambu ...!”
Keduanya pun berjalan
menuju timur perempatan. Pelan-pelan. Wajah mereka tampak cerah, seperti sore
itu. Langitnya biru, dan mulai berwarna merah jingga. Bunga potong yang dijual
setiap Sabtu di perempatan itu, telah habis.
“Laris bunga kita,”
ujar wanita yang dituntun Tika.
“Alhamdulillah,”
sahut gadis beram-but panjang, yang dikepang kuncir kuda.
“Ambu ....”
“Ya.”
“Ah, tidak.”
“Ada apa, Sartika?”
tanya wanita itu. “Sepertinya ada yang ingin kaukatakan kepada Ambu.”
Gadis kecil itu
menghentikan lang-kahnya. Ia menghela nafas dalam-dalam, sebelum kemudian
mendongakkan kepala.
“Ambu Henteu keberatan?”
Wanita itu tersenyum
setengah menahan tawa.
“Ngomong saja belum,
kenapa kebe-ratan?” tanya Ambu. “Sartika punya keinginan ya?”
Gadis kecil
mengangguk.
“Katakan. Mumpung
Ambu sedang memegang uang banyak.”
Tika atau Sartika
tampak senang. Lalu dipegangnya tangan Ambu, lebih kuat. Bagi wanita yang telah
melahirkan Tika, tahu apa maksud anaknya dengan memegang kuat-kuat seperti itu.
Anak yang berusia sebelas tahun. Ya, pada hari ini usia Sartika sebelas tahun.
“Tika ingin membeli
buku ...”
“O, boleh. Di mana?
Buku apa? Berapa harganya?”
Tika melepaskan
genggamannya. Dita-tapnya wajah ambunya, yang selama ini bekerja keras,
sejak ayahnya meninggal. Sehari-hari, ibu bekerja di ladang bunga potong, milik keluarga Bu Halimah.
“Benarkah?”
“Ya, ya benar atuh.
Masak Ambu bohong.”
Tika kembali memegang
tangan ibunya. Lalu didekatkan ke pipinya. Lama ia diam dengan
menempel-nempelkan tela-pak tangan belum keriput itu.
“Sebenarnya buku itu
sudah Tika baca, Ambu.”
“Trus?”
“Tapi Tika ingin
memilikinya.”
“O, kenapa?” tanya
Ambu.
“Karena ceritanya
bagus. Dan.. dan...”
Tika menghentikan
kata-katanya. Ambu menjadi heran. Juga penasaran. Apakah buku itu sangat bagus?
Sehingga Tika demikian ingin memiliki buku, yang belum disebutkan judulnya.
Juga berapa harganya, serta di mana membelinya? Selama ini, ia tak pernah
membeli buku. Kalau harus membacanya, meminjam ke perpustakaan sekolah, yang
lumayan penuh buku. Apa karena ia ulang tahun?
“Dan apa, Sartika?”
“Tika kenal
pengarangnya.”
“Hah!” Ambu terkejut
bukan kepa-lang. Ditatapnya sang anak itu, tanpa berkedip. Benarkah anaknya
berkenalan dengan pengarang buku yang diingin-kannya?
“Ambu marah?”
Ambu menggeleng.
“Ambu heran.
Bagaimana Sartika sampai bisa berkenalan dengannya?”
Tika memegang tangan
ambunya. Lalu ia menuntun ke tepi jalan, yang sudah tak seramai di perempatan
Dago tadi.
“Pengarangnya,
kemarin ke sekolah Tika.”
“Ooooooh....”
Anak itu bercerita, sungguh
menye-nangkan bisa bertemu dengan pengarang buku cerita “Sarinah dari
Hegarmanah” itu. Namun ia sedih, karena tak bisa membelinya seperti Indah
Sumawinata, Luwi Iswara, dan Deddy Hidayat. Juga tak bisa meminta tanda tangan
kepada pengarangnya: R Entin Wardhani.
“Tapi Tika sempat
berfoto dengan-nya. Ini,” kata gadis itu seraya mengeluar-kan selembar foto
yang ditandatangani pengarang buku itu.
Ambu segera memegang
foto yang dipegang anaknya. Lalu mengamatinya sejenak. Senyumnya mengembang. Ia
melihat betapa berseri-serinya Tika di situ. Meski kemudian ia jadi memperha-tikan
pengarang wanita berkacamata itu, Entin Wardhani.
“Saha nami
pengarangnya, Sartika?” tanyanya kemudian.
“Entin Wardhani....”
“Entin ... Entin
Wardhani,” wanita itu mengernyitkan kening. “ Di mana tinggal-nya?”
Tika yang jadi heran
sekarang.
“Tika tidak tahu.
Memang kenapa, Ambu?”
“Ambu seperti
mengenalnya .....Ah!” lalu ia menjentikkan jari-jemarinya. Berbunyi “ceklek”,
cukup keras. Tangan Ambu memang agak kasar, karena tiap hari bekerja sebagai
buruh tani menanam bunga potong, tak jauh dari rumah keluarga Bu Halimah. “Dia
punya tahi lalat di dekat hidung sebelah kanan?”
Tika menggelengkan
kepala. Ibunya sungguh aneh. Sampai bertanya dan menebak-nebak segala.
Memangnya kalau pengarang buku itu bertahi lalat di dekat pipinya, kenapa?
Sedangkan kemarin ia lebih memperhatikan wanita sebaya ibunya itu, bercerita tentang
hasil karangannya. Sehingga dengan senang hati, pengarang itu datang ke
sekolah-sekolah, yang meng-undangnya untuk menceritakan karangan-nya itu. Ya,
cerita seorang bernama Sarinah dari Hegarmanah, yang pantang menyerah. Hidup
dengan berjualan kue buatannya. Kadang dibantu oleh anaknya, ikut berjualan keliling, setelah sekolah.
“Ya!” seru Ambu,
sebelum Tika menerangkan si pengarang berjilbab, yang datang ke sekolahnya itu.
“Dari namanya, ambu tebak ia Entin, teman Ambu di SD Dewi Sartika dulu.”
“Oh ...!” seru Tika
kaget.
Ambu sekarang yang
mencekal lengan Tika. Lalu dia melambaikan tangan untuk menghentikan Angkot
hijau, yang akan menuju Jalan Merdeka.
“Ayo, sekarang kita
ke toko buku, dan beli buku Entin itu!” katanya.
***
Tika membaca habis “Sarinah dari Hegarmanah” sampai dua kali. Ia
semakin ber-keinginan untuk bertemu dengan Bu Entin Wardhani, yang ternyata
memang dikenal ambunya. Sebagai teman yang satu kelas ketika sama-sama duduk di
SD Dewi Sartika.
“Kamu belum juga bisa menemui Bu Entin
teman Ambu itu?”
“Ya, belum, Ambu. Kan Tika sekolah,
dan pulang sekolah membantu beres-beres di rumah. Ambu sendiri bekerja di kebun bunga,” jawab Tika.
Ambu sadar, untuk
mencari Entin, pengarang itu, memerlukan ongkos naik angkot. Apalagi setelah
diketahui, kalau pengarang buku temannya itu, tinggal di Bandung Selatan.
Tepatnya di daerah Ciwidey. Jaraknya cukup jauh dari Cihideung.
***
Sabtu sore, di perempatan Dago, langitnya cerah. Ambu berdiri di
tepi sisi kiri, dari arah Dago atas. Ia bergegas, kalau lampu menyala merah.
Dengan tangannya, ia mengacungkan gladiol putih dan mawar merah.
Kembang-kembang yang ia tanam, di pekarangan keluarga Bu Halimah. Keluarga yang
diikuti sejak enam tahun lalu. Sehingga ia boleh tinggal di bagian kiri rumah
induk, bersama Sartika.
Di pojok lampu merah, Tika masih
jongkok memegang buku. Ia seperti tak mempedulikan sekeliling. Hanya sesekali
mem-perhatikan ambunya yang menawarkan kembang potong, saat mobil-mobil
berhenti di perem-patan itu.
Sebuah mobil biru laut berhenti. Lalu
kacanya dengan lembut turun. Dan sebuah tangan melambai ke arah kiri, di mana
Tika masih dengan bukunya.
“Badeee ...?” tawar Ambu ke dalam
mobil itu.
Muncul wajah seorang wanita berka-camata.
Ia menggeleng. “Saya mau melambai anak itu ....!” katanya.
Tak bisa tidak, Ambu mengernyitkan kening.
Kenapa dengan Sartika? ”Ada apa dengan Tika...?”
“Dia ...dia ....”
“Ya, kenapa dengan Sartika?”
“Dia anak yang kemarin foto bersamaku.
Dia yang sedang membaca buku saya. Saya tahu, karena sampulnya saya kenal
betul.”
Ambu menarik kepalanya ke belakang.
Lalu memperhatikan wanita di mobil biru laut itu. Namun belum ia mengerti yang
dimaksud perempuan di dalam mobil dengan anaknya, lampu perempatan jalan
menyala hijau.
Tiiiin ...!
Tika yang kaget dengan suara klakson
itu, menengok. Ia melihat ambu panik di tengah mobil, yang beruntun untuk
melewati lampu merah. Hampir saja terserempet sepeda mo-tor yang berjalan
di sisi kiri mobil biru laut.
“Ambuuu ...hati-hati!”
Ambu
jatuh. Walau tidak ada kendaraan menabraknya. Tika segera meng-hambur ke arah
tubuh, yang terduduk di aspal jalan.
“Ambu tidak apa-apa?” gandeng Tika. Ia
menuntun ibunya yang tidak terluka.
“Ya, hanya kaget.”
“Syukurlah,” desis Tika.
Ketika keduanya sudah menepi, datang
seorang wanita yang turun dari mobil biru laut. Ia segera membimbing Tika. Juga
mencoba meraih tangan Ambu.
“Bu Entiiiin ...!” seru Tika.
Wanita itu tersenyum. Namun ia lebih
mendahulukan anak dan ambunya itu ke tepi jalan, agar aman.
“Maaf, saya membuat ibu ini hampir
celaka,” kata wanita yang tidak lain Bu Entin Wardhani.
“Tidak. Bukan .... karena ... eh! Ini
Bu Entin ....” sahut Ambu tergagap.
Tika yang mulai tenang, segera
teringat ambunya yang menyebut Bu Entin adalah teman sekelasnya dulu. Ketika
sama-sama duduk di SD Dewi Sartika. “Ini ambu saya, Bu Entin.”
“Oh,” sebut wanita itu. Lalu
mengulurkan tangan. Namun ketika tangannya dijabat ambu, ibu Tika itu
memegangnya erat-erat. Kemudian ia menempelkan telapak tangan wanita yang
disebut pengarang oleh Tika, anaknya.
“Entin, ini aku, Hamidah. Siswi yang
kausebut pendiam tapi sering kau ajak belajar bersama, kalau ada pe-er bahasa
Indonesia,” ujar Ambu.
Wanita
yang dipanggil Entin itu memajukan wajahnya. Untuk menegaskan siapa Hamidah
temannya itu.
Ambu tersenyum. Lalu ia mengulurkan
tangannya. Dan pelan-pelan, ia mencopot kacamata berbingkai hitam Entin. Tanpa
ragu, ia mencolek titik hitam sisi kanan hidung tinggi itu.
“Henteu lepat ... kau memang yang
sejak dulu pintar mengarang. Yang bisa menceritakan lebaran di rumah dinas
ayahmu, di perkebunan teh itu. Ayahmu benar menyelokahkan kamu ke sekolah
terbaik. Bahkan sampai ke Inggris sana....”
Tanpa berkata-kata lagi, Entin pun
menubruk tubuh wanita kurus itu. Ia memeluk-nya kuat-kuat. “Ya, Allah ....”
Ambu memeluk kuat sambil mengelus-elus
punggung temannya itu. Airmatanya berderai membasahi punggung baju halus Entin.
“Inilah aku, Tin...,” desis Ambu.
“Ya, ya ....”
“Ya, apa? Kautahu temanmu ini hanya
seorang wanita buruh bunga potong, di Cihideung?”
Entin menepuk-nepuk dan berganti
mengelus tubuh kurus itu. Ia tak bisa berkata-kata lagi.
“Sebaiknya, kita ke mobilku. Aku ingin
antar Teh Midah ....”
Ambu menurut. Tika yang sejak tadi
diam, bersikap sama. Mereka berjalan menuju mobil biru laut, yang terparkir di
seberang perempatan Dago, yang menuju arah bawah Jalan Insinyur Juanda.
***
Ternyata pertemuan di rumah Bu Halimah tak kalah indah. Karena
Entin adalah sahabat adik Bu Halimah, Herlina. Mereka pernah sama-sama tinggal
di daerah perkebunan teh.
“Kamu menjadi orang hebat,” puji Bu
Halimah.
“Ah, Ceu Halimah ...kudengar, Ceuceu
juga menjadi pemilik kebun bunga potong di daerah sini.”
Mereka saling bercerita. Hingga
akhirnya, Entin berkeinginan menulis tentang berkebun bunga potong daerah
Cihideung itu.
“Ya, setuju. Teteh punya banyak cerita
orang-orang Cihideung berkebun bunga potong,” sambut Bu Halimah. “Dari tempat
bernama Cihideung, yang berarti air yang hitam, banyak kisahnya. Dari sinilah
bunga potong seperti anyelir, sedap malam dan gladiol dihasilkan. Sehinga
Bandung tetap punya nama sebagai Kota Kembang,” lanjutnya.
“Itu dia!”
Lama mereka berbincang. Namun Entin
yang ditemani sopir pun berpamit. Untuk datang lagi, dan lagi. Akan
mengumpulkan kisah para pemilik kebun bunga potong, yang menyebar di daerah
Cihideung. Sampai kemu-dian menyebut nama Sartika.
“Aku akan meminta bantuan Tika ....”
Tika kaget.
“Ya, kamu Tika.”
“Kenapa saya, Tante ...eh, Bu Entin.”
Saat itulah Ambu atau Hamidah yang
sahabat Entin, memegang tangan pengarang itu. Pengarang yang bukunya sengaja
dibeli oleh anaknya, ketika ulang tahun kesebelas kemarin.
“Ijinkan dia belajar darimu Entin. Dia
sudah membacanya berkali-kali bukumu yang berjudul Sarinah dari Hegarmanah itu
....”
Entin tersenyum.
“Makanya saya memilihnya untuk mem-bantu
dalam penulisan kali ini,” jelas Entin. “Ia biarkan ia bercerita, sebagai anak
yang hidup di Cihideung ini. Perlu Teh Midah ketahui. Ia satu-satunya anak yang
bertanya dengan cerdas. saat saya berkisah buku itu di sekolahnya.”
Tika yang masih memegangi buku
karangan Entin itu menunduk. Dadanya naik-turun tak beraturan. Antara bangga,
bingung dan tak mengerti harus bekata apa.
“Apa pertanyaanmu kepada Tante kema-rin
di sekolahmu, Tika?”
Entin sengaja menyebutkan dirinya
Tente kepada Tika. Biar membuat Tika merasa dekat, dan tidak gugup. Kalau
pengarang di hadapan-nya adalah sahabat ibunya yang dipanggil Ambu.
“Kenapa judulnya Sarinah dari Hegar-manah....”
Entin menjentikkan jarinya. Bunyi
cukup keras. Persis seperti jentikan ambu.
“Teh Midah, dulu kita berdua sering
melakukan itu, bukan? Kalau kita berdua setuju untuk belajar bersama ....”
Ambu tertawa.
“Dan ....” potong Ambu.
“Untuk pergi ke perpustakaan Kota!”
sambung Entin meriah suaranya.
Tika merasa senang sekali. Ia seperti
mimpi. Apalagi melihat ambu yang wajahnya berseri-seri. Belum pernah ia
menemukan wajah ibunya yang amat cerah. Ditambah kata-kata yang membuat dadanya
ingin meledak.
“Aku tidak bisa mengarang sehebat
kamu, Entin. Padahal dulu kamu orang yang paling memujiku. Meskipun kuminta
jangan di depan teman-teman,” ungkap Ambu. Suaranya serak, menahan isak tangis.
“Tapi sekarang pun tetap bangga. Karena aku merasakan Sartika menuruni darahku.
Mudah-mudahan ia menjadi mawar yang mengharumkan ....”
Entin Wardhani mengangkat tangannya
tinggi-tinggi secara terbuka. Disaksikan oleh Bu Halimah yang matanya
berkaca-kaca.
***
0 Response to "MAWAR DARI CIHIDEUNG"
Posting Komentar