Teks Doddi Ahmad Fauji
SELEPAS Dzuhur, Bandung jadi mendung. Hujan turun lumayan deras. Terdengar petir mengguntur-guntur. Reda sejeda. Kemudian gerimis menitis ritmis. Saya tembus gerimis dengan payung. Lalu naik angkutan kota menuju rumah Tan Deseng. Gerimis yang ritmis mendatangkan suasana ganda: sendu dan syahdu.
“Cuaca teh mani jiga nu ceurik. Sararedih kieu nya (Cuaca seperti sedang menangis. Terasa begini sedih),” kata sopir angkutan kota kepada kernetnya.Sudah tiga hari hujan mengguyur Bandung selepas Dzuhur. Saya teringat semasa kecil di Bandung, tahun 80-an. Bila musim penghujan, matahari biasanya baru lingsir menjelang sepenggalah, bahkan bisa seharian absen, karena sebentar-sebentar hujan turun, atau sekedar rintik-rintik.
Di tengah hujan yang mulai mereda saya tiba di rumah Deseng. Pintu rumah terbuka. Di tengah ruangan tamu tampak seorang lelaki bertubuh cengkar mengenakan sarung dan kemeja putih. Ia sedang menelepon. Dialah Tan Deseng, lelaki yang saya cari. Senyumnya terkembang, menyambut saya yang berdiri di depan pintu.
“Silahkan masuk,” kata Deseng.
Saya membuka percakapan. Bukan untuk basa-basi. Saya kenal Deseng melalui banyak tulisan mengenai kesenian Sunda. Sebelum bincang-bincang lebih mendalam, saya meminta Deseng bermusik supaya pernyataannya jadi tambah afdol. Ia mengambil salah satu gitar yang terpajang di ruang tamu. Ada dua gitar di ruang tamu itu, merk Yamaha jenis string. Permainan musiknya mengingatkan saya pada Kitaro dan Gypsy Kings, menyatakan kekagumannya pada gitar dan kacapi Sunda. Di tangan Deseng gitar jadi multiguna.
Ia bisa memainkan pelbagai jenis musik dan tangga nada, baik yang diatonis (7 tangga nada modernis), maupun yang pentatonis (5 tangga nada tradisionalis). Kami terlibat perbicangan soal tembang sunda lawas, dan Deseng menembangkan salah satu mamaos, saya semakin yakin, musik Sunda itu bernada sendu, syahdu, mellow. Watak alam Sunda memang telah ikut membentuk karakter musiknya.
Ia memetik gitar itu, memainkan irama kacapi. Setelah petikan intro, Deseng menembangkan mamaos jenis madenda yang bernada sorog (salah satu jenis musik Sunda), yang liriknya seperti ini:
Udan Mas
kukupu tilu kulawu
harimumu hideung deui
cat mancat ka bale pulang
ngait mayang ku kareumbi
badoang manuk badoang
eunteup dina paku haji
jung nangtung asa lalanjung
gek diuk asa tiguling
leumpang asa ngalongkewang
pipikiran selang seling
sukma na manglayang-layang
tayoh aya nu di lingling
Tiga kupu-kupu warna kelabu
Harimumu (kenangan) hitam kembali
Manjat dan pulang ke bale
Mengait mayang dengan kareumbi (pohon)
Badoang burung badoang (burung gelatik)
Hinggap pada paku haji
Berdiri serasa pusing kepala
Duduk serasa jatuh
Berjalan serasa goyah
Pikiran silang sengkarut
Sukma melayang-layang
Alih-alih ada yang dicari
Petikan gitar dengan irama kacapi itu, berikut lirik-liriknya, terdengar oleh pengupingan saya, seperti suara masa lalu yang memutar ulang kenangan, yang memanggil-manggil hati ini untuk kembali. Ya, kembali ke alam yang masih eksotis, harmonis, alam Pasundan.
Tatar Sunda atau biasa juga disebut Pasundan, atau Priangan (Parahyangan), yang menawan dengan penduduknya yang mengulur senyum, yang kata antropolog Belanda MAW Brouwer pasti diciptakan Tuhan sambil tersenyum, memang selalu mendatangkan perasaan estetik, takjub. Ketakjuban pada alam yang menawan itulah yang membuat musik-musik tradisi Sunda selalu menggelontorkan rasa sumringah dan damai. Alasan itu pula yang membuat Deseng, sekalipun beretnis Tionghoa, jatuh cinta pada musik Sunda.
Dalam bahasa yang hiperbolis, orang Sunda seringkali bernarsis ria mengatakan, musik Sunda itu ibarat ngagerean hate, ngagupayan sukma (menggelitik hati, memanggil-manggil sukma).
“Dengan gitar ini, bisa saya mainkan irama kacapi. Saya tidak mengubah steman gitar. Tetap dengan nada diatonis standar internasional. Artinya, inohong dan seniman Sunda jaman dulu, sudah berusaha menciptakan kacapi dengan nilai seuniversal mungkin, hingga bisa dimainkan dengan gitar ini,” kata Deseng.
Ia berlalu ke kamarnya. Keluar lagi dengan membawa pick (alat untuk memetik gitar). Duduk kembali di sofanya, mukanya tercenung, lalu mengumandangkan seni tradisi bangsa-bangsa: India, Arab, Afro Amerika, Jazz, Blues, Jepang, China, Spanyol, komposisi Romance de Amor, de Alhamra. Bahkan, nada azan dan mengaji Quran, ia demonstrasikan di hadapan saya.
Usai berdemonstrasi, saya bertepuk tangan. Ia terseyum, kemudian menyalakan kembali rokoknya yang padam di asbak. Asap mengepul. Ia menghisap dua merek rokok, kretek Jarum Coklat dan Marlboro merah.
“Enggak pengajian, enggak azan, dalam keadaan tertentu suaranya sangat sakral. Kita harus memainkan musik dengan rasa hormat, supaya timbul perasaan yang indah,” katanya.
Setelah melihat demo itu, dalam hati saya berujar, si empunya mata sipit ini, yang berperawakan tipis, berambut sebahu, sudah selaiknya menerima penghargaan Piala Metronome dari Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI) pada 23 Maret 2007 lalu.
PAPPRI yang diketuai Darma Oratmangun, tahun 2007 ini memberikan penghargaan Piala Metronome kepada Idris Sardi (violis legendaris Indonesia), almarhum Denny Sabri (pemandu bakat musik legendaris), Tan Deseng (pengembang seni musik sunda), Nortier Simanungkalit (bapak paduan suara Indonesia), alm Benyamin Suaeb (musisi Betawi legendaris).
Diberikan sejak 2004 lewat acara Nugraha Bhakti Musik Indonesia , Piala Metronome telah dianugrahkan kepada 25 musisi. Metronome adalah alat ukur untuk menguji ketepatan, akurasi, dan konsistensi seorang musisi. Penghargaan itu sekaligus mendakukan Daseng sebagai seniman yang piawai di dalam bermusik. Ia memang dikenal mahir dalam penguasaan teknik permainan alat musik Sunda dan hafal benar bagaimana mentransfer nada diatonis ke pentatonis.
Ada tiga jenis nada musik Sunda, demikian Daseng, yaitu pelog, salendro, dan sorog. Jika hendak malantunkan nada pelog dengan gitar, maka pemusik harus berangkat dari kunci F. Jika memainkan nada salendro, harus bertolak dari kuci D Mayor6 atau D Mayor9. Sedang jika ingin bersenandung dalam nada sorog atau dikenal juga dengan madenda, pemusik harus mengambil nada D minor atau E minor.
“Untuk musik Jawa, juga nyaris sama. Tapi terdapat perbedaan pada bunyi pelog Sunda dan pelog Jawa. Jika Sunda bermain di kunci F, pelog Jawa lebih cocok bermain di kuci Bes, ” kata Daseng
Deseng menghisap lagi rokoknya dalam-dalam dan melepaskan asap dari mulutnya dalam satu hembusan.
“Tinggal kita stel senarnya, bisa kita mainkan berbagai bunyi alat gamelan. Sebaliknya, kacapi ini juga bisa digunakan untuk memainkan suara gitar. Kalau kacapi Jawa, hanya berfungsi sebagai pengiring, jadi tidak bisa memainkan berbagai instrumen musik,” katanya, meyakinkan saya.
Jalan hidup Daseng penuh liku. Pada usia 65 tahun, saat sebagian orangtua lain menikmati masa senja di rumah sendiri, Daseng masih mengontrak. Belum punya rumah. Namun demikian ia mengaku bahagia dan tetap memiliki kebebasan berekspresi.
Rumah kontrakan itu sudah ia mukimi bersama keluarganya sejak awal 2006 atas pembiayaan pengurus Padepokan Pasundan Asih, sebuah grup musik yang Deseng turut dirikan pada Agustus 2002 lalu. Rumah itu cukup besar. Bahkan ada studio untuk latihan sekaligus rekaman. Studio ini namanya Bhatara Studio & Record yang sudah dirintis Deseng sejak akhir tahun 60-an.
“Saya bersyukur, walaupun rumah kontrakan, ya ini juga dikontrakan oleh Pasundan Asih, tapi di sini ada ruangan untuk latihan. Dulu mah, waktu masih di Karasak, kalau mau latihan itu harus di jalan, harus minta izin dulu sama tetangga. Baru malam-malam bisa latihannya juga. Sekarang di sini ada studio untuk latihan,” demikian ia mengungkapkan kebahagiannya.
Deseng dan keluarga memang bisa disebut burung rantau yang terus bermigrasi. Sejak tahun 1990-an saja, Deseng sudah berkali-kali pindah kontrakan. Pertengahan 1991, ia terpaksa hengkang ke Jakarta, karena rumah kontrakannya di Bandung harus dikosongkan, padahal belum jatuh tempo. Si pemilik rumah begitu kasarnya menyuruh Deseng angkat kaki. Malam itu juga ia beres-beres.
Sampai malam, beres-beres belum juga beres. Namun kebetulan, malam itu datang cukong Gadjah Mada Record. Si cukong bertanya, “mau pindah ke mana?”
“Belum tahu, pokoknya disuruh keluar dari rumah ini, ya keluar,” jawab Deseng.
Cukong itu menawarkan Deseng ke Jakarta. “Langsung angkut saja ke Jakarta. Owe punya rumah kosong.”
Deseng pun migrasi ke Jakarta, dan bekerja sebagai Direktur Artistik di perusahaan itu, di kawasan Cipayung, Jakarta Timur. Di Jakarta, ternyata Deseng tidak bisa berlama-lama. Tanah Pasundan berikut lengkingan serulingnya, seakan memaksanya kembali ke Bandung.
Ia kemudian tinggal di Jl. Murni I Nomor 39. Dari Murni, pindah ke daerah Muara, lalu ke Malabar. Kemudian pindah ke daerah Karasak, Jl Mohammad Toha, Bandung Selatan. Semuanya kontrakan.
Akan halnya kebebasan berekspresi, setelah bergulir era reformasi, di mana etnis Tionghoa boleh merayakan kembali kebudayaannya, bagaimana pun Deseng bahagia karena jadi leluasa untuk pentas. Sebelum reformasi, wajah Deseng yang Tionghoa itu, membuatnya kerap dicurigai sebagai seniman Sunda palsu. Karena itu, ia kurang memiliki kesempatan untuk pentas. Padahal, bisa manggung itu artinya dapur tetap mengepul.
“Terkadang saya sakit hati, suka dianggap seniman Sunda palsu. Sehingga kesempatan saya untuk pentas, jadi sulit,” kenangnya sambil menabur senyum simpul.
Deseng kini bisa pentas di berbagai tempat. Malah belakangan Deseng bisa beberapa kali pentas ke manca negara. Tahun 1997 misalnya, ia tampil di Malaysia. Lalu tahun 2003 tampil di Sanghai, Nanking, Beijing. Tahun berikutnya tampil di Kun Ming (Yunan, China Selatan).
“Bangsa lain melihat kami tampil, banyak yang menitikkan air mata saking harunya. Kami pun mendapatkan pengharagaan dari Bapak Lu Shu Ming, itu Duta Besar RRC untuk Indonesia,” kata Deseng. Penghargaan itu ia terima tahun 2003. Isi penghargaan adalah sekelumit kalimat yang ditulis dengan kaligrafi China, berbunyi: Hanya budaya bangsalah, itulah dunia!
Pada 25 Juni 2004, bertempat di Gedung Grand Estern Bandung, Deseng menjadi dirijen untuk 84 personel Tionghoa yang membawakan lagu klasik Sunda Mekar yang menjadi lambang dangiang Bandung. Sebelumnya, mereka membawakan lagu Ni Nung Wo Nung yang terlelang seharga Rp100 juta.
Pada 28 Februari tahun ini, Deseng dan grupnya, tampil di Jakarta disaksikan Dubes RRC yang baru, Lan Liu Chun, Dubes Indonesia untuk RRC Sudradjat, anggota Indonesia Tinghoa (Inti), juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut hadir dan memberikan sambutan.
Penampilan Deseng dan grupnya itu, pada Februari itu, adalah dalam rangka merayakan hari Imlek dengan mengambil tema “Indonesia Bersatu”. Apa yang ditampilkan di Jakarta, kemudian digelar kembali di Bandung, di Gedung Sabuga, pada 4 Maret. Gubernur Jawa Barat Dany Setiawan hadir dan menyampaikan sambutan.
“Saya bersyukur dan mengucapkan terimakasih kepada Bapak Presiden yang sudah memberikan kesempatan kepada kami untuk pentas. Kami ingin tegaskan, bahwa kami ini bangsa Indonesia yang mencintai tanah air dan kebudayaannya. Saya sebagai bangsa Indonesia, bukan sekedar di KTP. Saya wujudkan dengan keterlibatan saya pada kebudayaan Sunda yang agung, adiluhung,” kata Deseng.
Pada pertunjukan massal itu digelar sebuah atraksi dan kolaborasi seni Sunda – Tionghoa. Muncul tarian barongsai dengan iringan musik Sunda yang sangat buhun (lampau).
Deseng memang seniman serbabisa. Dengan gitar ia memainkan nada dan irama kacapi yang pentatonis, dengan kacapi ia bisa memainkan nada dan irama gitar yang diatonis. Ia bisa memainkan pelbagai instrumen musik, dari ehru hingga samisen, kacapi juga rebab, keyboard dan gitar, menabuh drum atau kendang, dan masih banyak lagi.
Telinga Deseng memang sudah telinga musik, sehingga Remy Sylado pada sebuah wawancara dengan surat kabar pada akhir tahun 80-an, menyatakan, “Dia seniman hebat, sayang belum banyak dimanfaatkan. Barangkali ini terjadi karena dia orang China.”
Bahkan menurut Remy, jika Deseng bermain rock, jauh lebih dahsyat dari Yngwie Malmsteen. Jika Yngwie memainkan gitar dengan jemari dari bawah ke atas, Deseng bisa menirukan melodi Yngwie dengan jemari terbalik.
Aktivitas Deseng kini terfokus untuk bermusik dan mengajar di Padepokan Pasundan Asih, yang bermarkas di rumah kontrakannya itu. Padepokan ini berdiri atas usul berbagai lapisan masyarakat yang khususnya kebanyakan orang Tionghoa. “Saya lupa tanggal berapa berdirinya,” kata Deseng.
Para seniman di padepokan ini berasal dari beragam kalangan. Ada tukang sayur, dokter, insinyur, pengusaha, seniman murni, acak kadut, namun semuanya mencintai seni-budaya Sunda. Padepokan diketuai oleh Ade Tjahjadi (budayawan Sunda), juga didukung oleh Popong Otje Djungdjunan, dan Hendri Somantri (sastrawan).
***
0 Response to "LEBURNYA TAN DESENG (Bagian 2)"
Posting Komentar