Teks Doddi Ahmad Fauji
Wajah dan wangsanya memang totok China. Tetapi kacapi dan suling seolah
telah menyulap Tan Deseng menjadi orang Sunda pituin (asli). --- lead.
Sebuah SMS dimuat di rubrik Halo Kang Dada, koran Tribun Jawa Barat pada 20
Juni 2007 lalu:
“Kang Dada, saya memang tak tinggal di Kota Bandung & bukan
orang Sunda, tapi saya suka kesenian Sunda. Melihat tokoh budaya Sunda yang
kebetulan keturunan Tionghoa itu, Bapak Tan Deseng yang rumahnya saja masih
ngontrak, apakah Pemkot tidak memikirkan beliau? Harusnya masyarakat Sunda
berterimakasih dengan dedikasi Pak Tan Deseng.”
Kang Dada ialah Dada Rosada, Walikota Bandung. Menurut si pengirim SMS, Kang
Dada sebagai representatif masyarakat Sunda, harus memikirkan rumah bagi
Deseng, sebagai ungkapan terimakasih atas jasa dan dedikasinya dalam
mengembangkan seni-budaya Sunda, terkhusus karawitan buhun ala Cianjuran.
Sekalipun sudah diterakan sekilas identitasnya pada SMS di atas, barangkali
bagi Anda nama Deseng tetaplah samar. Kurang karib. Tapi mungkin Anda mengenal
satu orang atau lebih nama-nama ini: Remy Sylado, Dian Pisesa, Gilang Ramadhan,
Indra Lesmana, Pra B Dharma, Teti Kadi, Euis Darliah, Jajat Paramor, Hety
Koesendang, Harry Rusli (alm), Sam Bimbo, Ireng Maulana, Kiboud Maulana, Oelle
Pattyselano, Victor Rompas, Bujana, Joko, Coni Constantia, Tri Utami.
Nama-nama yang dibanjarkan itu, setidaknya pernah bertautan dengan Deseng pada
sebuah kolaborasi musik. Terkhusus Dian Pisesa dan Remy Sylado, relasi yang
terjalin dengan Deseng lebih intim lagi. Dian dididik Deseng sedari nol, hingga
menjadi vokalis bertaraf nasional. Sedangkan korespondensi Remy dan Deseng
bersifat resiprokal.
Demikianlah, sejak 1979 Deseng belajar kepada Remy soal filsafat estetika dan wawasan berkesenian, sedang Remy belajar pelbagai instrumen musik dan memetik gitar dari Deseng. Remy dan Deseng sudah seperti bersaudara. Remy sangat mengenal Deseng secara komprehensif.
Saya sendiri tidak mengenal Deseng. Hanya pernah membaca namanya di media massa, yang sering disebut-sebut sebagai “Lebih Sunda dari orang Sunda”, “Pendekar karawitan Sunda”, “Orang China yang Nyunda”, dan sederet identitas lainnya. Saya tidak tahu persis apakah pernah bertemu atau melihat wajah Deseng secara langsung.
Sampai akhirnya saya membuat janji untuk berbincang-bincang di rumahnya, di Jl Babakan Jeruk II No 16, kawasan Terusan Pasteur, Bandung. Sekira pukul dua siang kami akan bertemu. Sabtu siang itu (30/6), hari nampak cerah, dan udara terasa gerah. Setelah pemanasan global, Bandung memang tidak sesejuk dulu lagi.
***
Tulisan ini pernah dimuat di Tabloid Koktail (alm), kemudian dipublikasikan di blog pribadi saya gugahjanari.blogspot.com, berhubung saya kehilangan akses terhadap blog tersebut, maka tulisan di blog tersebut saya pindahkan satu per satu, untuk yang dianggap penting sebagai referensi.
0 Response to " LEBURNYA TAN DESENG (Bagian 1)"
Posting Komentar