KAPAN mobil Esemka akan diekspor ke Jepang? Duta Besar Jepang untuk Indonesia Yoshinori Katori, bertanya kepada hadirin. Walikota Solo, Joko Widodo (kala itu), ikut menerima kunjungan Dubes Jepang ke Solo Techno Park pada 11 Mei 2012 silam. Sang Dubes penasaran dengan berita heboh mengenai mobil rakitan karya siswa Sekolah Menengah Kejuruan di Kota Solo itu.
Ada segurat tanya, sebagus apa
mobil Esemka? Mungkinkah jadi ancaman untuk otomotif Jepang yang kini merajai
pasar otomotif Indonesia? Jika ya, berarti Jepang harus waspada.“Sekilas, tak
jauh beda dari mobil Jepang,” kata Dubes, menghibur hadirin sehabis memeriksa
bagian dalam Esemka. Tapi ia tidak melakukan test drive. Entah kenapa.
Pertanyaan Dubes itu jelas
hanyalah retorika ironis. Sebab bangsa ini belum mampu membuat mobil. Mimpi
dapat membuat mobil nasional yang mendiri, sungguh masih jauh panggang dari
api. Apa iya raja pembuat otomotif mau terima ekspor mobil rakitan?
Inti dari otomotif terdapat pada
mesin. Nyatanya hingga kini, bangsa yang besar secara kuantitas ini -tapi tidak
secara kualitas-, belum bisa membuat mesin. Pesawat terbang produksi Dirgantara
Indonesia (dulu PT Nurtanio) di Bandung, atau kapal rakitan PT PAL di Surabaya,
masih mengimpor mesin. Artinya, kita belum bisa membuat mobil, pesawat terbang,
atau kapal laut selama mesinnya belum bisa kita buat sendiri.
Mesin memang piranti fundamental
untuk menjalankan aneka industri, dari mulai otomotif, pertanian, peternakan,
pertambangan, pangan, manufaktur, kriya hingga barang kelontongan. Tak bisa
bikin mesin, akan jadi hambatan dalam memproduksi perkakas modern bagi
pengembangan industri lainnya. Mesin adalah kausa yang berefek domino bagi
keberhasilan atau ketertinggalan sebuah negara dalam mengembangkan industri
lanjutan.
Membuat mesin memang bukan
pekerjaan ‘gampangan’. Ini adalah refleksi, dalam penguasaan teknologi, betapa
kita masih tertinggal jauh oleh bangsa lain. Akan makin tertinggal bila tidak
mengubah maindset dalam membina
potensi anak bangsa.
Harus kita akui, dalam bidang
teknologi kecakapan kita baru pada tahap merakit, paling jauh mengadopsi, atau
membajak, dan belum sampai pada tahap mencipta. Kita belum bisa membuat
komputer atau teknologi komunukasi yang memiliki daya saing bahkan di pasar
domestik, apalagi di pasar manca-negara. Kita harus legowo menerima kenyataan bahwa kita belum mampu membuat piranti
teknolohi mutakhir.
Akan tetapi, tak bisa dimungkiri
oleh bangsa manapun bahwa leluhur kita ‘pernah’ cakap mencipta karya seni
adiluhung. Disebut ‘pernah’, karena karya kebanggaan itu adalah produk masa
silam.
Misalnya seni corak batik warisan
leluhur, yang ditandingkan oleh Unesco, ternyata berhasil jadi yang terbaik di
dunia. Juga karya seni keris yang murni hand
made, adalah senjata tradisional paling filosofis di muka bumi. Unesco juga
menyatakan Wayang adalah “The Master
Peace of orality for hummanity in The World”. Puluhan tahun Candi Borobudur
dinyatakan sebagai satu dari tujuh keajaiban dunia yang dibuat oleh manusia.
Alat musik Sasando dari Nusa
Tenggara, Tari Saman dari Aceh, Seni Angklung dari Bandung, juga diakui oleh
Unesco sebagai karya seni warisan dunia yang harus dilestarikan. Naskah I Lagaligo dari Bugis, dinyatakan
sebagai naskah paling panjang dan kompleks di muka bumi. Lebih keren dari
naskah Illiyad karya Homeros, dari
Mahabarata karya Abiyasa, dari Ramayana karya Valmiki.
Tapi, semua karya seni yang
unggul di dunia itu, sekali lagi, adalah warisan leluhur. Apakah karya seni
yang dilahirkan generasi sekarang sanggup menjadi yang terbaik di muka bumi?
Kalimat itu jangan dimaknai sebagai pertanyaan, tapi harus menjadi tantangan
untuk kita jawab dengan berkarya.
Kenyataannya, hingga saat ini
belum seorang pun sastrawan kita meraih Hadiah Nobel, walau saya yakin meraih
Nobel tentunya bukan tujuan para sastrawan untuk berkarya. Namun Hadiah Nobel
jadi salah satu indikasi, bahwa dalam bidang penguasaan seni sastra modern dan
kontemporer, kita pun kalah. Kita tertinggal di hampir semua bidang, termasuk bidang
pertanian yang amat fundamental untuk kelangsungan hidup.
Negeri agraris ini harus
mengimpor beras 20 juta ton per tahun ke Thailand, Vientam, bahkan ke Malaysia.
Sampai kapan?
Tentu kita tidak boleh berdiam
diri dengan ketertinggalan itu. Kita punya tanggung jawab besar untuk membina
generasi yang akan datang supaya memiliki daya saing di tingkat internasional.
Katakanlah saat ini kita kalah bahkan oleh negara-negara Jiran macam Malaysia,
Thailand, Vietnam, Singapura. Tapi generasi yang akan datang jangan sampai
kalah lagi. Inilah tanggung jawab kita: menyiapkan generasi yang lebih
berkualitas, sebab persaingan di masa depan akan makin menggila.
Kita harus bangkit, dan pintu
masuk untuk kebangkitan itu harus dimulai dari kemampuan mencerna dan mengapresiasi
sebuah karya yang kelak berbuah pada kemampuan menciptakan kreativitas. Saya
yakin, orang yang kreatif pastilah orang yang apresiatif. Orang yang tidak
apresiatif, sulit untuk bisa kreatif. Paling banter ia hanya jadi penjiplak.
Apresiasi tertinggi sekaligus
paling awal harus dialamatkan pada bidang bahasa, karena bahasa merupakan
jembatan untuk menguasai ilmu pengetahuan. Kenyataannya, banyak siswa yang
menganggap pelajaran Bahasa Indonesia amat gampang karena sudah bisa berbicara
dan menulis dalam bahasa Indonesia. Karena menyepelekannya, banyak siswa yang
meraih nilai tidak memuaskan untuk bidang studi Bahasa Indonesia, termasuk
saya.
Betapa penting cakap berbahasa,
karena semua pengantar ilmu pengetahuan adalah bahasa. Saya sering tidak bisa
menangkap pelajaran yang lain ternyata bermula dari ketidakcakapan saya dalam
menangkap maksud dan tujuan kalimat yang mengantarkannya.
Ilmu pertama yang diajarkan Tuhan
kepada Adam pun adalah bahasa (Quran Albaqoroh ayat 32). Sedangkan jargon dalam
ilmu bahasa Arab mengatakan, segala asal usul ialah bahasa. Bahasa itu amat
luas. Tulisan ini disampaikan dalam bahasa tulis verbal. Selain bahasa tulis,
ada bahasa lisan, bahasa tubuh, bahasa isyarat, sandi, kode, atau simbol.
Gunung bukanlah semata-mata benda yang ada di alam, tapi bahasa Tuhan dalam
bentuk simbol. Maknanya sangat luas, salah satunya berbunyi: Gunung adalah torn raksasa di mana Tuhan menitipkan
air. Bila gunung dirusak, dan pohon-pohon kering kerontang, maka daerah di
sekitar gunung akan kesusahan air. Lihatlah, ketika area pegunungan di Bandung
Utara terus digerus, maka daerah Kota Bandung mulai kering air tanahnya.
Salah satu bidang pengetahuan
yang sulit dipisahkan dari eksistensi bahasa ialah sastra. Bila orang tidak
apresiatif terhadap bahasa, ia juga tidak akan apresiatif terhadap sastra. Bila
seseorang suka membaca karya sastra, ia akan pandai berbahasa.
Kenapa banyak orang yang tidak
suka sastra? Bisa jadi karena sastra disampaikan dalam linguistik yang
simbolik, yang tak mudah dicerna. Ketika seseorang tidak cakap dalam mencerna
bahasa, ia pun tidak akan pandai mencerna karya sastra. Disodori puisi, bisa
jadi akan geleng kepala. Argumentasi inilah kiranya yang menjadi pembenaran
kenapa banyak siswa yang tidak apresiatif terhadap karya sastra. Bisa jadi
gurunya tidak cakap mengajarkan bahasa, atau siswanya kelewat menyepelekan ilmu
bahasa.
Pada dekade 1990-an, para aktivis
sastra mengeluhkan pengajaran apresiasi sastra di sekolah setingkat SMA,
mengalami kemandulan. Para siswa selama sekolah, tidak berminat membaca karya
sastra. Waktu kuliah, juga tidak berminat memperbanyak membaca karya sastra,
bahkan itu terjadi pada mahasiswa yang notabene kuliah di Jurusan Bahasa dan
Sastra.
Penyair Taufik Ismail pernah
membandingkan minat baca siswa SMA di Indonesia, Malaysia, Kanada, dan Amerika.
Hasil penelitian menunjukkan, siswa SMA di Indonesia tidak membaca novel sampai
tuntas selama mereka menempuh studi SMA, sedangkan di Malaysia, para siswa SMA
membaca sampai tuntas antara 9 – 11 judul novel. Di Kanada dan Amerika,
rata-rata siswa SMA membaca 33 judul novel sampai tuntas.
Dampak dari buruknya apresiasi,
adalah rendahnya nilai kreativitas dan daya imajinasi siswa-siswi SMA.
Sedangkan krea-tivitas dan imajinasi merupakan modal dasar untuk bisa menjadi
seorang kreator dan inovator. Maka tidak perlu heran kalau bangsa ini hanya
menjadi pengguna dari hampir semua piranti modern yang dibutuhkan dalam
kehidupan.
Sebenarnya bukan hanya apresiasi
siswa yang minim, tapi juga apresiasi dan minat baca para guru. Tentang hal
ini, Kemen-terian Pendidikan dan Kebudayaan mesti melakukan survey, berapa
banyak guru yang pernah membaca karya-karya kualitas inter-nasional dari para
peraih Hadiah Nobel misalnya. Atau, adakah para guru Bahasa dan Sastra di
sekolah-sekolah akrab dengan karya WS Rendra, Sutradji Calzoum Bachri, Afrizal
Malna?
Keluhan itu terus berlanjut
hingga tahun 2005-an. Namun kini, berkat penemuan situs jejaring sosial macam facebook, dan penemuan piranti teknologi
alat tulis-baca yang mudah dibawa, ada geliat pertumbuhan minat masyarakat pada
tulis-baca, minimalnya menulis dan membaca status yang di-upload ke situs jejaring sosial.
Geliat tulis-baca itu berlanjut
pada kebutuhan menulis status yang bagus, yang bernada puisi, atau malah dalam
bentuk puisi, atau dalam pola prosa. Hasilnya cukup positif: apresiasi
masyrakat pengguna situs jejaring sosial terhadap seni sastra (puisi dan
prosa), mengalami perkembangan.
Perkembangan tersebut terus
berlanjut pada bermun-culannya para penulis puisi dan prosa dari berbagai
generasi. Mereka berhimpun dalam komunitas sastra yang terbentuk di dunia maya,
yaitu grup-grup puisi atau prosa di dunia maya. Sepanjang pengamatan saya, ada
ratusan grup perpuisian di dalam facebook.
Anggotanya berdiskusi secara intensif, termasuk merencanakan penerbitan buku
karya mereka. Mungkin telah ratusan buku antologi puisi bersama telah terbit di
Tanah Air sebagai bentuk dari pekembangan minat masyarakat untuk bersastra.
Tapi apakah daya apresiasi, dalam pengertian membaca karya orang lain telah tumbuh dengan baik di kalangan penulis karya sastra dan di tengah masyrakat luas? Perlu penelitian khusus untuk menjawab pertanyaan di atas. Namun sejauh ini, aneka pelatihan menulis yang di selenggarakan di tengah masyarakat, memiliki cukup peminat. Ada harapan bahwa kelak dunia sastra tumbuh lebih baik, moderat, demokratis, dan menjunjung kemajuan peradaban.
Guna meningkatkan daya apresiasi
dan kreativitas siswa dalam dunia sastra, kami mendorong guru supaya jadi
teladan dalam apresiasi dan kreativitas penulisan karya sastra. Kami terbitkan
buku antologi puisi “Istana Berduri”, karya Ellisya Asdhy, guru Bahasa dan
Sastra Indonesia SMA Negeri 14 Garut, Jawa Barat. Seorang guru membukukan karya
puisi, bukanlah hal baru, tapi jarang. Karena itu harus didorong. Sebab dengan
guru menerbitkan buku, setidaknya ia akan bersungguh-sungguh mengajarkan
apresiasi kepada siswanya. Syukurlah bila kreativitas guru tersebut diikuti
oleh para siswa. Bila itu terjadi, harapan anak bangsa akan kreatif, bisa
membuat mesin sendiri, semoga cepat tercapai.
Kami tidak ingin mengulas
estetika puisi-puisi karya Ellisya Asdhy dalam antologi Istana Berduri ini,
karena ulasan seringkali bersifat dilematis. Di satu sisi, bisa ikut memandu
pembaca dalam memaknai dan menikmati puisi yang tersaji, dengan catatan itupun
bila pengantar apresiasinya bersifat deskriptif dan objektif.
Di lain sisi, pengantar apresiasi
justru akan mengerangkeng pemaknaan seluas-luasnya dari para pembaca. Meski
demikian, kami sajikan dalam buku ini komentar beberapa pembaca yang kami
mintai sebelum buku ini terbit.
Akhirnya, selamat membaca dan berapresiasi.
Salam Sastra,
Bandung, Juli 2016
Bila Anda berminat mengoleksi buku puisi ini, dapat menghubungi langsung penulisnya, Ellisya di nomor WA: +62 813-2147-6703.
0 Response to "KAUSA LINGUA"
Posting Komentar