Bila bicara dari sudut pandang ‘corps de esprite’, hanya ada satu reaksi yg patut diejawantahkan, yakni kemenangan Willy itu, harus disyukuri dengan bangga, bahwa ada frase yg heroik bisa diteriakkan hingga ke langit terjauh: "ASAS uber Alles!" (ASAS di atas segala komunitas).
Namun seiring
dengan itu, atas nama kemajuan peradaban literasi, ada beberapa sudut pandang
yang perlu direnungkan, dilontarkan, baik bersifat afirmatif, evaluatif, maupun
introspektif.
Buku antologi
Willy sebagai pendatang baru, bisa melibas para pesohor yang sudah memiliki jam
terbang mendekati sakratul maut, adalah fenomenal sekaligus kontroversial. Buku
Willy melebihi fenomenanya ‘Kuda Hitam’ dalam ajang sepakbola, yang kerap
muncul di berbagai kompetisi. Dikatakan melebihi, karena ini benar-benar
menyodok aras ‘common sense’: Apa iya buku Afrizal Malna bisa kalah oleh buku
Willy?
Untuk
menjawabnya, saya ingin melihat dari faktor realita dewan juri. Dari tiga orang
itu, dua Dewan Juri sudah melampaui usia 70, bahkan mau menyentuh angka 80.
Usia yang sering ditilik dari dua dimensi yang berseberangan.
Dimensi
pertama, para pelanjut usia itu sering ditahbiskan sebagai insan kamil yang
telah mencapai maqom makrifat, yaitu menelisik hakikat di balik hakikat sebuah
soal. Bila ini yang benar, maka berarti selama ini, puisi-puisi yang
diagung-agungkan oleh aneka festival dan media massa pemuat puisi, ternyata tak
lebih dari puisi profan yang tidak memberikan secercah aufklarung. Hanya wadag
kata-kata yang bersembunyi di balik doktrin ‘l arte pour ‘l arte, namun tak
memberi efek positif bagi nilai-nilai kemanusiaan. Para juri yang sudah sepuh
itu, justru menemukan alam katarsis pada puisi pendatang baru.
Dimensi
kedua, usia mendekati 80 tahun itu, di mana usia tidak bisa berbohong, adalah
usia memasuki gerbang kepikunan. Jangan-jangan karena sudah pikun, para juri
itu, sudah tidak bernas dan jernih lagi dalam menilai. Karena mereka senior,
hukum feodalisme mengatakan seperti ini: Fasal 1: senior tak pernah salah.
Fasal 2: Bila senior salah, kembali ke fasal 1. Tardji dan Hadi, akhirnya
memveto Maman sebagai junior yang jadi tumbal.
Selain
catatan untuk keputusan dewan juri yang fenomenal dan kontroversial itu, setuju
tak setuju, bahwa bangsa ini tidak memiliki teori ilmu modern yang aseli dan
asali. Semua ilmu modern, termasuk ilmu perpuisian dan filsafat, bahkan ajaran
agama, adalah hasil impor dari seberang. Kita menilai diri sendiri, dengan
menggunakan kacamata orang lain. Maka selain memberikan catatan
pertanggungjawaban, semestinya juri memberikan analisis yang akurat, dan bila
mungkin, pisau untuk menganalisisnya itu, dibakukan dan dibukukan, sehingga
secara pelan-pelan, kita menciptakan kaidah dan rumus sendiri, agar lebih jauhnya
lagi, bangsa ini bisa membuat mesin sendiri, komputer sendiri, juga handphone
sendiri. Jelas karena honor yang tidak memadai, kehendak yang ideal menurut
saya itu, sulit untuk diwujudkan, seperti sulitnya mencari ketiak ular. Jikapun
dibuat analisis, sifatnya akan asal-asalan.
Di atas
semua itu, maka akan sangat bijak bila hadiah yang diterima oleh Willy,
digunakan untuk sekolah filsafat, dan filsafat tertinggi itu, ialah batu nisan!
0 Response to "Catatan ‘Tafakarul Ihtiyati’ Atas Kemenangan Willy Fahmi Agiska pada HPI 2020"
Posting Komentar