Oleh Queen Erni
MINGGU pagi itu, Atang bergegas menuju ke Kebun Raya, dengan naik angkot bercat hijau. Ia sudah biasa dengan bawaan keranjang cukup besar. Di dalam keranjang anyaman bambu itu, ada sejumlah wayang golek.
Di sekitar pintu masuk Kebun Raya, sudah ramai.
Beberapa orang menggelar dagangan-nya.
Hampir semuanya oleh-oleh khas Kota Hujan, yang berada di sebelah selatan Ibukota
negara. Ada cinderamata, aneka mainan, mobil-mobilan, sampai wayang golek. Ada
yang jualan makanan, seperti asinan buah pala, talas, bengkoang, dan alpokat.
Atang pun memajang wayang golek buatan ayahnya.
Kali ini ia jualan sendirian. Ayahnya sedang kurang sehat, karena semalaman harus
menyelesaikan hiasan wayang-wayang golek pahatannya. Dicat dengan hati-hati.
Terutama bagian wajah, dan mata. Agar tampak indah, dan mudah dikenali sebagai
tokoh pewayangan. Termasuk tokoh-tokoh bebodoran. Terutama untuk tokoh Cepot
yang terkenal itu.
“Semoga hari ini laris, Atang,” doa Ayah.
Anak kelas enam yang hampir ujian SD itu, selalu
ingat pesan Ayah. Terutama kalau ia berjualan sendirian pada hari Minggu. Hari
di mana lebih banyak pengunjung ke Kebun luas, dan banyak pohon suah tua.
Mereka yang berdatangan, bisa menikmati pohon-pohon besar, berumur puluhan
tahun. Ada yang berusia lebih dari seratus tahun. Pengunjung banyak yang duduk
di kursi, yang tersedia tepi telaga, yang dihiasi teratai besar. Ya, sambil
memandang ke arah Istana Bogor yang bertembok putih, yang berada di sisi barat.
“Ayahmu tidak jualan, Atang?” tanya Kang Karta,
penjual balon yang sebaya Ayah. Ia kadang menenteng jualannya, memburu pengun-jung,
seraya menawarkan balon aneka warna. Apalagi kalau ada anak kecil.
“Semalam
lembur, Kang. Jadi siang ini nebus
tidur,” jelas Atang, sambil mengerjakan kayu sebesar jari orang tua. Ia kerap
membuat bentuk-bentuk lucu, dari ranting kayu, saat menunggui dagangan wayang
golek buatan ayahnya.
Kang Karta tertawa. Lalu ia berjalan menawarkan
dagangannya. Atang tetap men-jagai wayang golek. Ia selalu kagum dengan wayang
buatan ayahnya. Selain halus, juga dihias secara menarik. Terutama wajah
tokoh-tokohnya. Yang perempuan tampak cantik, dan yang laki-laki begitu gagah.
Atau tokoh lucu, yang terkenal sebagai punakawan: Gareng, Petruk, Bagong dan
Semar. Tokoh dalam dunia pewayangan yang kerap muncul di layar televisi, meski
ia tak mengerti bahasa Jawa.
“Yang ini berapa, Dik?” seorang wanita cantik,
memegang tokoh wanita: Srikandi.
“Murah, Bu,” jawab Atang, sambil menyebutkan
angka.
Ibu itu manggut-manggut.
“Boleh kurangi sepuluh ribu, Dik?”
Atang berpikir cepat. Harga itu sudah cukup
memadai. Harga yang selalu diberikan ayahnya.
“Baiklah, Bu.”
Wanita berkacamata besar itu, masih melihat-lihat
wayang-wayang golek buatan Ayah. Cukup banyak tokoh wayang, yang dibuat orang tuanya,
yang hanya selesai sekolah hingga SMP. Ayah selalu menghendaki anaknya
bersekolah lebih baik. “Orang memuji ayah, karena bisanya ayah hanya ini.
Bisanya mem-buat boneka wayang. Kalau soal pengetahuan, kalah sama kamu anak-anak
sekarang,” tutur-nya selalu, kepada Atang.
“Tapi Ayah tetap hebat,” pujinya.
“Kamu harus lebih hebat.”
“Ya, Ayah. Atang janji.”
Ucapan ayah tidak bohong. Karena Atang juga, bisa
menjadi pemahat kayu yang baik. Buktinya, Ibu pembeli wayang Srikandi, ia beralih
memperhatikan orang-orangan dari akar kayu, buatan Atang. Bentuknya unik dan
lucu. Warnanya, warna kayu.
“Kalau ini dijual, Dik?” tanya wanita, yang belum
membayar wayang Srikandi itu.
“Mmm … sebenarnya….”
“Saya minat.”
“Oh ....”
“Berapa harganya?”
Atang gelagapan. Namun ia segera berpikir cepat.
Dan ia pun menyebutkan angka, untuk boneka dari cabang dan ranting kayu itu.
“Ya, tidak mahal, Bu. Sama Ibu yang sudah membeli
Srikandi, dua puluh lima ribu rupiah saja.”
Ibu pembeli yang baru turun dari mobil itu,
tertawa. Ia ditemani seorang anak wanita berkulit bersih. Rambutnya diponi
mirip kuda.
“Pintar jualan juga kamu, ya.”
“Aaaah ...”
Atang senyum-senyum.
”Sudah, dua puluh. Jadi genap dengan Srikandi.
Seratus lima puluh.”
Atang setuju. Ia pun membungkus boneka kayu itu,
dengan hati-hati. Ya, ia benar-benar kaget. Karena boneka buatannya ada yang
menyukai. Tepatnya, ada yang membelinya.
“Ayah, Atang pun sekarang bisa menjual buatan
Atang,” desisnya bersyukur, setelah pembeli itu ditarik-tarik seorang gadis
cilik yang menemaninya. Gadis bertahi lalat yang menarik. Apalagi berkacamata.
Seperti anak yang gemar membaca.
***
Bu
Sukanti berdiri, di ruang kelas enam SD Kapten Muslihat, sambil membersihkan
tangan dengan bertepuk-tepuk. Anak-anak duduk dan siap pulang. Bel tanda
pelajaran akan berakhir beberapa menit lagi.
“Sebelum pulang, Ibu akan memberi tugas untuk
kalian….”
Terdengar dengung seperti lebah.
“Seminggu dari sekarang, berarti Sabtu depan,
kalian menyerahkan hasil prakarya atau hasta karya. Boleh membuat apa saja.“
“Bahan dari kertas, Bu?”
“Boleh.”
“Lilin?”
Bu Sukanti tertawa.
“Ya, apa saja boleh. Yang penting, buatan
sendiri.”
Atang segera dikerubuti teman. Mereka bertanya
kepada anak itu. Beberapa tiba-tiba ingin bermain ke rumahnya.
“Ya, buat saja yang kalian bisa.”
Anak-anak perempuan itu jadi bertambah penasaran.
Ingin diberitahu membuat apa dari Atang, yang dikenal biasa membuat mainan.
“Huh …!” dengus Andri, dari jarak tak terlalu
jauh. Ia anak baru yang selalu suka pamer dengan barang-barang yang dimiliki.
Kadang membawa mainan robot-robotan. Atau mobil dengan pengendali jarak jauh, remote control.
“Kenapa, Dri?” tanya Agus, yang berjalan melewati
pintu Ruang Kelas, yang kemudian ramai celoteh anak-anak. Sebelum bubaran.
“Memangnya cuma Atang yang paling hebat di sini?”
tanya Andri. “Aku juga bisa membuktikan. Lihat saja nanti.”
“Tapi ....”
“Ala, kamu juga tak percaya?”
Agus nyengir. Ingin ia menyela. Namun percuma.
Apalagi ia tak mungkin membantah kepada Andri, yang suka meminjami mainan mahal
kepadanya.
***
Sabtu
siang itu pelajaran akhir. Bu Sukanti sudah memajang hasta karya anak-anak
kelas 6. Anak-anak itu berceloteh, karena sebentar lagi, Ibu guru akan
mengumumkan hasil peker-jaan tangan mereka. Hasta Karya.
“Punyaku, yang paling unik. Pasti paling …!”
“Sombong kamu!” sungut Tita.
“Eh, lihat saja!” kata Andri.
Bu Sukanti memberi peringatan. Agar anak-anak
tenang.
“Karya kalian bagus-bagus,” kata Guru yang
mengenakan baju batik motif Cirebonan.
“Punya saya yang paling bagus, kan Bu?” sela Andri dengan suara
lantang.
“Yaaaa … lihat saja.”
“Pasti, Bu.”
Bu Sukanti tersenyum.
“Naaaah ...!” seru anak pindahan itu bangga.
Seolah-olah senyuman Bu Sukanti, sebagai pertanda membenarkan, kalau karya
Andri paling bagus.
“Sekarang, tenang!” guru itu mengangkat tangannya.
Keadaan jadi senyap. Mereka berdebar-debar. Menati
penilaian Bu Guru yang sering mengajak jalan-jalan para murid. Terutama kalau
mereka diminta untuk mengarang. Tempat yang sering dikunjungi, ya Kebun Raya.
“Kita sering-seringlah belajar pada alam,” katanya
suatu hari. “Kenapa?”
“Karena alam ciptaan Tuhan ....”
”Wahyuningsih benar!” sebut Bu Sukanti. “Ada
jawaban lain?”
“Biar mencintai lingkungan kita!” acung Supriyadi.
Wanita itu tersenyum. Tangannya yang terbuka,
diangkat tinggi-tinggi. Pertanda ia senang dengan murid-muridnya yang cerdas.
“Kalau Atang?”
Mendapat pertanyaan mendadak, anak kurus itu
gelagapan.
“Saya ... saya suka kayu-kayu untuk dibuat ....”
“Mainan?”
Teman-teman tertawa. Atang hanya bisa garuk-garuk
kepala. Bibirnya senyum-senyum. Ah, ia memang pemalu.
Sekarang Bu Sukanti menilai prakarya
siswa-siswanya. Satu-persatu ia memberi nilai hasil pekerjaan tangan anak kelas
enam itu. Termasuk asbak kayu buatan Atang. Hingga sisa satu, dan ternyata itu
milik Andri.
“Ini unik, dan bagus ….”
“Punya saya, Bu!” Andri berdiri dengan dada
dibusungkan. Pandangannya diedarkan ke seluruh ruang kelas. Seperti ingin
membangga-kannya.
“Oooh …!”
“Bagus, kan
Bu?” tanya anak pindahan dari Jakarta itu.
“Sangat!” kata Bu Sukanti, sambil mengangkat
boneka atau orang-orangan dari ranting pohon.
Andri pun mengangguk-angguk sombong.
“Ini buatan kamu sendiri, Andri?”
Anak itu tidak langsung menjawab.
“Ya, iya, Bu. Kan
sudah diberi nama. Juga tidak ada yang tertukar?” katanya sambil menoleh ke
teman-teman sekelas.
“Baik.”
“Nah, iya kan?”
kata Andri lagi. Wajahnya tampak cerah. “Kalau perlu, karyaku itu dipajang di
sekolah ini. Sebagai tanda ….”
“Tidak, Andri!” potong Bu Sukanti.
“Kenapa, Bu?”
“Karena ini bukan hasil perkerjaanmu.”
Andri kaget. Wajahnya berubah tegang.
“Kok?”
Bu Sukanti tersenyum. Ia memegang boneka itu, dan
mengangguk-anguk. Seperti memuji, kalau hasta karya Andri itu benar bagus.
“Apa buktinya?” tanya Andri tak sabar.
Bu Sukanti meminta Andri maju mende-katinya. Anak
itu pun menuruti. Meski ia mulai berdebar-debar. Apalagi teman-teman semua
menatap ke arahnya. Tak berkedip.
“Kau perhatikan bagian penampang akar kayu ini,”
pinta Bu Guru itu.
“Ya. Ada apa, Bu?” anak itu makin gugup. Keringat
dingin pun tak bisa ditahan.
“Apa yang kaulihat?” tanya Bu Guru, pelan.
Andri memperhatikan. Namun ia kemu-dian
menggeleng. Karena tak mengerti.
“Belum tahu?” cecar Bu Sukanti.
Andri tak bisa mengangguk. Ia menggeleng. Walau
pelan sekali.
“Di situ simbol seperti hurus AS yang digandeng,”
Guru wanita itu berkata pelan.
Andri menelan ludah. Ingin membasahi
tenggorokkannya yang tiba-tiba kering. Ya, kering seperti ranting pada musim
kemarau.
“Mmm ….ya,” aku Andri, akhirnya. Tak mungkin, ia
tak membaca apa yang diminta Bu Sukarti.
“Pasti, Andri. Karena itu adalah nama depan dari
Atang Sumarna. Teman kita yang tiap hari Minggu berjualan wayang golek buatan
ayahnya, di Kebun Raya.”
Andri menelan ludah lagi. Kali ini keringat pun mengucur, membasahi
dahi lebarnya. Ia segera teringat ketika mamanya pulang dari Kebun Raya bersama
Fani, pulang membawa wayang Srikandi dan boneka kayu yang lucu bentuknya. Dan
Andri yang tidak ikut ke Kebun Raya itu, membawa boneka itu sebagai buah
karyanya. Memenuhi tugas dari Bu Sukanti seminggu lalu. Sebagai hasta karya.
“Yang perlu kau ketahui, Andri.’
Andri hanya mampu mengangkat kepa-lanya sebentar.
Tak berani menatap ke arah gurunya, yang bersuara bagus seperti penyanyi
terkenal kelahiran Bogor, Vina Panduwinata.
“Ya, Bu,” desisnya sangat pelan.
Bu Guru itu tertawa pelan.
“Lebih dari tiga buah hasil keterampilan Atang
disimpan di sekolah ini,” kata Bu Sukanti lagi.
Andri hanya bisa menunduk malu. Kali ini ia diam.
“Ngakuuuu …lah anak sombong!” seru beberapa anak
perempuan.
Andri manalah mungkin berani menjawab. Tidak
seperti hari-hari kemarin. Suka mengejek anak-anak perempuan itu.
“Jadi, boneka itu dari mana, Andri?” tanya Tini
yang pernah diejeknya.
Sama seperti tadi, anak itu diam saja. Sama sekali
tak berani menoleh ke arah mereka.
“Sudahlah!”
Bu Sukanti memberi peringatan kepada anak-anak.
“Ia sudah mengakuinya. Itu yang penting. Jujur itu
....”
“Haruuuuus ...!” sambut anak-anak.
Lalu terdengar tepuk tangan meriah.
Beberapa anak sekarang menoleh ke Atang. Anak itu
pun hanya bisa menunduk. Hatinya berbinar-binar.
***
Cerita anak ini telah diterbitkan dalam bentuk buku bersama 4 judul cerita anak lainnya. Berminat mengoleksinya, cek di tokoko/situseni, cari menu TOKO ONLINE SITUSENI
0 Response to "BONEKA KAYU ATANG - Cerita Anak"
Posting Komentar