Pilihan Editor

Sang Pendidik Dalam Untaian Syair

"Sang Pendidik dalam Untaian Syair" adalah sebuah karya yang menghimpun puisi-puisi yang menggambarkan dedikasi dan peran penting ...

ANTOLOGI PUISI LOMBA BACA PUISI ANUGRAH DEWI SARTIKA 2019 DAN KETENTUAN LOMBA


Lomba Baca Puisi Anugerah Dewi Sartika (LBPADS)

Ketentuan Umum:

Pendaftaran dibuka pada 15 November s.d. 12 Desember 2019 pukul 23.59.
Peserta mengisi formulir pendaftaran secara daring (online)

Peserta wajib membayar biaya pendaftaran ke rekening BNI 0443299867 a.n. Tedi Hilmansyah, serta melakukan bukti foto transfer atau bukti pembayaran kepada narahubung LBPADS melalui Whatsapp (Setia/085722101715) paling lambat tanggal 13 pukul 13.00.

Peserta diwajibkan membayar biaya pendaftaran:
Kategori Kepala sekolaha sebesar  Rp. 150.000,-
Kategori Guru maupun umum sebesar Rp. 100.000,-.

Kategori Kepala Sekolah dan Guru, wajib membuktikannya dengan surat keterangan dari Instansi terkait.

Fasilitas untuk Peserta: Sertifikat, Nomor Urut, Makanan Ringan, dan Antologi Puisi Lomba.

Estimasi peserta maksimal berjumlah 200 peserta pada tahap penyisihan.


Ketentuan Teknis:

Lomba Baca Puisi dibagi menjadi tiga tingkat kategori meliputi:
Kepala Sekolah, Guru, dan Umum.

Lomba dibagi dua babak, babak penyisihan babak final. 

Peserta wajib datang untuk mengikuti taklimat di SMP Dewi Sartika pada 13 Desember 2019, pukul 14.00

Pada babak penyisihan dan final, peserta hanya membacakan satu puisi dari antologi yang telah ditentukan penyelenggara.

Pada babak penyisihan, peserta bebas memilih dari antologi yang disediakan, dan pada babak final, peserta membacakan puisi yang diambil dari pot undian yang telah di sediakan.

Peserta yang lolos tahap final berjumlah 6 peserta per kategori.

Dalam pembacaan puisi hal yang dinilai meliputi:
interpretasi puisi, penghayatan, dan artikulasi.

Lomba ini memperebutkan masing-masing dalam setiap kategorinya:
Juara 1: Tropi, Sertifikat Juara, dan Uang sebesar Rp. 2.500.000,-
Juara 2: Tropi, Sertifikat Juara, dan Uang sebesar Rp. 2.000.000,-
Juara 3: Tropi, Sertifikat Juara, dan Uang sebesar Rp. 1.500.000,-

Juara Umum akan mendapat Piala Bergilir Anugerah Dewi Sartika beserta uang tambahan. 


Pelaksanaan di SMP Dewi Sartika, Jln. Kautamaan Istri No 42, Bandung
Sabtu – Minggu, 14 – 15 Desember 2019, pukul 09.00 - 17.00 WIB
Taklimat (pertemuan teknikal), Jumat, 13 Desember 2019, pukul 14.00 - selesai
di SMP Dewi Sartika Bandung.

Puisi-puisi untuk Babak Penyisihan:

Beni R. Budiman: Sepanjang Namamu
Moh. Wan Anwar: Perempuan yang Datang Pagi-pagi
Nenden Lilis A., Pengungsi
Doddi Ahmad Fauji, Aku Cinta Pada-mu
Lukman A. Sya, Sebuah Kebun Menjelang Musim Hujan
Moh. Syarif Hidayat, Kepada Sang Dewi
Ujianto Sadewa, In Memoriam Desember
Nandang R. Pamungkas, Belajar Membaca
Rudy Ramdani, Ibu (untuk Wanita Teragung)
Wida Waridah, Engkaulah Laut Itu
Dian Hartati, Wangi Bunga yang Mengikuti
Ferina Meliasanti, Adalah Malam yang Menjaga Auratku
Yopi Setia Umbara, Kekasih Bermata Batu Akik
Edwar Maulana, Kepada Perempuan yang Sedang Mengajar
Faisal Syahreza, Ingin Kutegakkan Alif di Matamu
Zulkifli Songyanan, Sekadar Sajak (Rose Novia)
Willy Fahmy Agiska, Di Bawah Langit Bungbulang (Youla Sakinafisa)
-------------------------------


Beni R. Budiman
SEPANJANG NAMAMU

1
Belum lengkap kusebut namamu. Sedangkan
Fajar telah lama mekar. Kabut pagi terus
Beringsut. Dan burung-burung bersiut-siut
Di antara reranting nangka milik tetangga

2
Mestinya telah kupanggil namamu berkali-kali
Ketika matahari membakar separuh rambutku
Bayang-bayang tubuhku menciut lebih pendek
Dari aslinya. Lalu kucium mesra keningmu

3
Masih tak kuseru namamu. Ketika para petani
Masih menyirami bunga kol. Dan batang labu
Mengendorkan lilitannya di setiap pagar bambu
Tiang listrik berbayang-bayang lebih panjang

4
Tak kueja juga namamu. Padahal lembayung telah
Berkelebat di rerimbun markisa. Burung-burung
Bergegas pergi ke sarang di atas sunyi perigi
Dan matahari berkema sembunyi ke balik bukit

5
Harusnya kukekalkan cinta sepanjang namamu
Sebelum kota sepi. Dan kita terbaring bersama
Mimpi. Tenggelam dalam temaram lampu. Hitam
Sepanjang malam. Lalu diam sepanjang namamu

1995

(Beni R Budiman. 2003. Penunggu Makam. Jakarta: Putaka Jaya)
------------------------------------------------------
Moh. Wan Anwar

PEREMPUAN YANG DATANG PAGI-PAGI

perempuan itu datang pagi-pagi
mengucurkan masa lalu di cangkir kopiku
dia datang dari kota yang berkabut
dengan batuk tertahan, penuh aroma baja
ruang tamu jadi pecah. Burung-burung menggigil
cuaca dan kawat-kawat listrik mendingin

“bumi ini lahir dari sebuah cinta
dosa pertama itu,” kataku sambil mengingatkan
sesuatu yang berlalu dan sesuatu yang akan tiba

ia mengerti atau mungkin tak mengerti
dengan apa yang terjadi. Ia lupakan kota
yang telah menelan cinta, menemuiku
pada sebuah janji. Kureguk juga kopiku
sampai tandas, hinya yang tersisa hanya kenangan
dan itu pun menyimpan beban

apalagikah yang akan kautawarkan?
apalagikah yang harus kulakukan?

Perempuan itu datang pagi-pagi
tapi hanya diam. Barangkali,
ya barangkali saja, ia paham
bahwa memang sudah saatnya untuk berdiam.

Bandung, 1996

(Moh. Wan Anwar. 2002. Sebelum Senja Selesai. Banten: Imaji Indonesia & FKIP Untirta)
----------------------------------------------------
Nenden Lilis A.

PENGUNGSI

ini dada kami
segetas gelas, serapuh kasa tua
dapat dengan mudah kau pecahkan atau kau robek
apalagi jika kau bidik dengan senjata
dan kau koyak dengan runcing tombak

setelah itu, di rongga yang dalam
akan kau temukan darah menghitam
mengekalkan nyeri hantaman ratusan tahun

jika kau masih haus akan anyirnya
tenggaklah sekalian kunyah jantungnya
bagus pula mengemasnya dalam labu
lalu berteriak, “kami mengalahkan pengacau!”

kami hanya pengungsi yang turun ke kaki gunung
pendatang yang tiba di tepi laut
orang yang lama melata di jalanan kota
atau baru muncul dari balik waktu

tapi ini dada kami
berjajar melingkarimu

1997
---------------------------
Doddi Ahmad Fauji

AKU CINTA PADA-MU (1)

Bagi-mu yang setara hamparan laut
ini bahteraku berlayar
mengantarkan salam dan kasih
sebatang sungai mengalirkan
kerinduan dan peluk-ciumku

Bagi-mu yang diterjang halilintar
di kota sesak prahara
didera rasa lapar saat menghelat pesta
dihardik kesepian di tengah keramaian
bertamulah ke ruang batinku
pasti kuhibur engkau dengan puisi:
aku cinta pada-mu!

1995 – 2005
--------------------------------- 
Lukman A. Sya

SEBUAH KEBUN MENJELANG MUSIM HUJAN

Tanaman yang tumbuh
atas nama keringat dan air mata
kini meradang
Tengadah sambil mengharap langit
masih mencintainya
kegersangan melanda hati hingga akar-akar
yang biasanya penuh makna
Kini menyerah pada takdir seperti kupu-kupu
yang kehabisan harum kembang jagung
tapi anak-anak di enja hari masih riang
mengejar capung
ketawa seperti belalang (usai terbang terperanjat)
memindahkan mimpinya ke lain dahan yang tenang

Para petani masih berdoa; para pawang dipanggilnya
memanggil hujan
sebentar lagi musim cinta bersemi
meliputi sukma-sukma terkasih
menyiram diri di dalam tanah
: cacing yang sabar mengharap hujan
menjemputnya untuk menari
melupakan luka teramat sunyi
di perut ibu bumi
  
(Lukman A Sya. 2019. Kenduri Waktu. Bandung: Penerbit Buruan & Co.)
-----------------------------------
Moh. Syarif Hidayat 
KEPADA SANG DEWI

Suatu ketika bertemu dalam ketidaksengajaan
Selanjutnya mengiringimu dalam perjalanan

Kaulah dewi penunggu hujan
Pemuja gerimis
Pemelihara kunang-kunang
Pencuri kesunyian

Di antara gelap yang menyingkap
Di balik jelebu yang menderu
Kaulah penyelamat rindu

Menunggumu di untaian waktu
Memujamu di zaman yang syahdu
Adalah cara lain mengasah diri
Mencipta ruang kosong di sanubari
Menajamkan rasa, mengukir kembali cinta

Kepadamu sang dewi
Bertahanlah dalam hati.

2016

(Moh. Syarif Hidayat. 2017. Mengenang Kelahiran. Yogyakarta: Gambang Buku Budaya)
------------------------------------------------

Ujianto Sadewa 
IN MEMORIAM DESEMBER

sebuah ruang membentang
dunia dibangun keheningan getaran
usapan kabut
ikan merdeka dalam ruang pernapasan air
menjadi bunda kesabaran

aku tulang ikan di tenggorokanmu
serupa duri dalam rintang sekat
membuatmu tersedak
lumpur pada wajahku semilyar sesal
dan marabahaya

aku bergetar
suara angin menyampaikan gagasan
seperti garam
asin dan perkasa

kita beringsut menuju tanah lempung
mengenang masa silam terbenam
hari-hari berpendaran
senja menukik dalam cekam malam
menggores rasa kehilangan

1999

(Ujianto Sadewa. 2016. Aligator Merangkak Sajak. Bandung: Penerbit asasupi)
-------------------------------------------
Nandang Rudi Pamungkas

BELAJAR MEMBACA
:Rayya dan Razita

Bacalah langit serta apa pun
yang semestinya bisa kaubaca

membaca pagi, membaca embun, membaca matahari,
membaca tanah, membaca pohon, membaca bunga-bunga,
membaca angin, membaca hujan, membaca musim dan cuaca,
membaca air, membaca sungai, membaca riak dan batu-batu,
membaca laut, membaca nelayan, membaca ombak dan ikan-ikan,
membaca senja, membaca malam, membaca bulan, dan membaca
bintang-bintang.

Bacalah setiap gelagat dan siasat
membaca suka dan tawa, membaca luka dan air mata
membaca keringat dan usaha, membaca keinginan dan cita-cita
membaca kemarin, membaca hari ini, membaca hari esok
membaca keberhasilan juga membaca kegagalan.

Bacalah semesta serta apa pun
yang semestinya bisa kaubaca.
Bacalah walau hanya seekor anak katak
yang meloncat ke tengah kolam.

Karena tanpa kausadari
anak katak itu akan meloncat sangat jauh
menyelusup ke dasar hatimu
membuka-buka rahasia
kolam kehidupan.

Belajarlah membaca, walau hanya
dengan cara mengeja.

Bandung, 13 Oktober 2010
--------------------------------- 
Rudy Ramdani

IBU
untuk wanita teragung

pecahan tangis bayi di awal Ramadhan terlahir
terdengar setelah menunggu sekian waktu pada
arasy maha suci
ketika kematian adalah benang layangan
bersabung dalam erangan pancakara yang berdarah
rahim itu telah aku tinggalkan, ibu
akulah bayi dalam kandungan berbulan-bulan itu
dengarlah tangis takutku pada cahaya pertama
adalah air matamu sajakku

II
seorang bayi mengunyah waktu
senandung ibu membelai tidur

III
lembaran kasih pada gulungan awan
telah menyimpan jenuh air pada hujan yang kau deraskan
ketika para terindah yang mengukir senyum
telah menjelma pada bibir pelangi
dan bentangan kerudung agung pun mencakrawala
: mata telah menulis air mata

2002

(Rudy Ramdani. 2013. Syair Tanah Lahir. Bandung: Penerbit asasupi)
-----------------------------------------------
Wida Waridah

ENGKAULAH LAUT ITU
: puput amiranti

engkaulah laut itu
rambutmu menjadi gelombang
hanya mampu dibaca angin
sedang aku, hanyalah orang asing
sendirian di pantai, memandangmu
melupakan kisah tentang air mata

senyummu adalah doa
terlantun dari lirih dinding-dinding
kamar yang menyimpan perbincangan
sedang aku memilih menjadi ranjang bisu
mengantarkanmu ke dalam kampung
bawah sadar yang damai

andai saja ada angin
berembus lebih kuat ke arahmu
mungkin akan kumasuki kamar
tempatmu mencipta puisi
pada kertas-kertas kosong
menjadi sehimpun sakramen suci
tapi cuaca hanya membuatku
menjadi seorang pendosa
yang berdoa di beranda gereja

masih kupandangi ombak di rambutmu
sampai harus kuucapkan sebuah kata
yang kubenci; selamat tinggal
kelak, aku ingin kembali ke pantaimu
memandangmu dari jarak paling lekat

2003

(Wida Waridah. 2019. Risalah Mainan. Yogyakarta: Basabasi)
------------------------------------------

Dian Hartati 
WANGI BUNGA YANG MENGIKUTI

satu hari setelah kau berada di tempat baru
aku mengunjungi rumah lama

di pagar
wangi bunga menyambut
di dalam ruang-ruang kenangan
aku ditemani semerbak
rupa-rupa kembang

berpindah tempat
aroma yang sama muncul
kau berubah
hadir dalam bentuk lain

saat aku mencuci baju
wangi bunga datang lagi
kau tahu, ini kali pertama
aku mencuci tanpa bajumu

datang ke tempat baru
deretan nian menyambut
aku merasakan kehadiranmu
melalui kembang
padahal aku belum menabur apa-apa

setiap waktu kau mengikuti
menjagaku melalui bahasa cinta yang lain
melebihi dahulu

Ruang Ungsi 5, 10 November 2012

(Dian Hartati. 2013. Upacara Bakar Rambut. Bandung: Medium & Rumah Seni Lunar)
----------------------------

Ferina Meliasanti 
ADALAH MALAM YANG MENJAGA AURATKU

sulur-sulur akarku, wahai kekasih
lindap disadap subuh yang lusuh
langit gulita
tasbih semakin pekat
apa yang tersisa dari nafas dzikirku?
saat ayat-ayat menjadi segumpal air mata
bulan tumbang  di pangkuan sajadah
rebah dan kalah

siang adalah nisan kefanaan
dari akar yang terbakar
menjelma abu di jari-jariku
mata remang  di rembang petang
perjalananku seperti kerikil di setapak usia

adalah malam yang menjaga auratku
dalam kesunyian dan istirah
dari terik dosa yang cemburu
dan maut yang tak henti memburu
aku alpa, wahai kekasih
jalan penuh cagak
waktu kian sesak

aku mengira lautan luap dalam rakaatku
lidah-lidah ombak mengasma doa-doa
tak henti mengikis pasir-pasir cibir
batu karang lumat menjadi waktu
tapi jisimku bagai arus pasang surut
di tanjung terakhir

kerinduan ini, wahai kekasih
adalah warta yang tak sampai-sampai
pada helai sayap-sayap malaikat
pada istirah panjang nabi terakhir
begitu pun di puncak arasy
mulutku kian kalut melafal benda-benda
kian samar
lalu beku menjadi batu
tersimpan dalam setiap sujud dan rukuk
di sudut waktu

aku pun kembali di subuh hari
kungkum di akhir perjalanan
karena tak dapat kupahat usia
hingga ludah menjadi kemarau
dan darahku berubah payau
di batas malam
kudendang ribuan ayat-ayat
dari kerinduan yang tak sampai-sampai
kepadamu, wahai kekasih…

2006
---------------------------

Yosi Setia Umbara
KEKASIH BERMATA BATU AKIK
:Rosi Rosiah

duhai
kekasih bermata batu akik
hari cukup cerah
aman bagi perjalananmu
meninggalkan rumah
di mana tangan ibu telah lama
mengelusmu manja
layaknya kasih sayang mata air

lihatlah ke langit
matahari membuka jalan
untukmu
jalan setapak menuju arah
yang mungkin kau tempuh
dengan kaki kecilmu

tapak cinta juga kedamaian
berjalanlah terus
sampai semua turut merasakan
kelembutan dan ketenangan jiwa
seperti kau curahkan
segala kasih bertanda keindahan
dari matamu padaku

2009

(Yopi Setia Umbara. 2017, Cet. Ke-2. Mengukur Jalan Mengulur Waktu. Yogyakarta: Gambang Buku Budaya)
--------------------------------------------

Edwar Maulana 
KEPADA PEREMPUAN YANG SEDANG MENGAJAR

Kau telah mengajariku
bagaimana cara mendengar
sehingga kini aku mampu bicara
tentang apa saja yang terjadi
di tabah tubuh negeri ini, misalnya
tentang korupsi yang seolah tidak bisa
dihentikan, tentang politik yang begitu
mengerikan, atau tentang pendidikan
yang berjarak terlalu jauh
dengan kemanusiaan.

Pun kau telah mengajariku
bagaimana cara membaca
sehinggga kini aku bisa menulis
segala peristiwa gila di muka dunia
misalnya, perang panjang yang telah
begitu banyak memakan korban
teroris yang kian bengis dan sadis
atau cinta yang terpisah
dari kehidupan.

Maka tersenyumlah
agar suatu saat nanti
aku tidak mencuri
atau jadi politisi.

Tersenyumlah
agar suatu hari nanti
aku tidak pergi berperang
atau meledakkan bom
bunuh diri.

Tersenyumlah
supaya bunga-bunga tahu
bagaimana caranya mekar
dan aku tidak bosan belajar.

Bandung, 2016
--------------------------------------------------

Faisal Syahreza
INGIN KUTEGAKKAN ALIF DI MATAMU

ingin kutegakkan alif di matamu, ketika tak ada lagi
yang membuatku kukuh berdiri memandangi gedung-gedung
yang tinggi. kupanggil kau dengan nama kesunyian
di jalan-jalan raya. dan menciptakan kaligrafi cahaya dari lampu-lampu kota.
orang-orang membangun dunia dari kecemasan dan cita-citanya
yang kosong. maka aku tak ingin engkau merekayasa hidup, dari
spanduk iklan, etalase toko apalagi gemerlap mal.  aku ingin
bersama engkau mencintai doa-doa yang terpahat di batu sungai.
mengucapkan dzikir yang telah disuarakan pepohonan
sepanjang hayatnya. atau menasbihkan nama-namanya
pada laut yang senantiasa tiada henti bergemuruh.

aku ingin menegakkan alif di matamu, hingga kekal tak rubuh-rubuh.
biar aku mampu menyeret badai dalam sembahyangku.
dan kucairkan harapan yang beku dalam sujud-sujud malamku.
waktu adalah lima anak panah yang setia menuju alamatnya.
seluruh tarian telah kubangkitkan dari keterdiamannya.
seluruh lagu telah kunyanyikan lagi untukmu. hanya untuk semakin
tegak alif tepat di matamu.

dan dari tatapan itulah, engkau akan menuntunku.
menuju mabuk yang paling teguh, rindu yang paling lepuh.
hingga sampailah kita, di mana hati seharusnya berlabuh
: sebuah keheningan yang khusuk merampungkan usiaku
merambati jalan makrifatnya.

(2010)
-------------------------------------------------

Zulkifli Songyanan
SEKADAR SAJAK
--Rose Novia

Di tepi telaga yang luas dan tenang itu
kupandangi lagi wajahmu.
Betapa lebat sepasang alismu matamu
betapa hebat engkau menggetarkan hatiku.

Matamu, bola dunia yang sesungguhnya itu
ternyata menyimpan ketenangan dan keluasan
sebuah telaga. Sungguh segar udara kuhirup
di sela embusan napasmu. Aku pun percaya
bibirmu yang sehat serta pipimu yang padat
tak kalah mempesona tinimbang tanah coklat
menumbuhkan aneka bunga.

Menyusuri seluruh rahasia dan keindahan di wajahmu
hatiku sampan kecil yang sengsara
                terguncang seketika, mabuk
dalam pusaran senyumanmu yang bersahaja.

Di dekatmu, derita hidup itu tidak ada.
Bahkan saat kupandangi lagi matamu yang teduh
aku benar-benar lupa bahwa aku sekadar
menulis sajak, di tepi sebuah telaga.

(Zulkifli Songyanan. 2018, Cet. Ke-2. Kartu Pos Dari banda Neira. Yogyakarta: Gambang Buku Budaya)
-------------------------------------------------
Willy Fahmi Agiska

DI BAWAH LANGIT BUNGBULANG
-Youla Sakinafisa

Mungkin telah kita duga sebelumnya:
langit itu tak akan jadi putih
atau biru seluruhnya
seumpama warna jiwa kita.

Dan masih angin ini juga.
Menghembus cemas di muka,
menghembus kering tanah lahir
ke baju-baju dan selaput mata kita.

Kesepian adalah gravitasi.
Selalu menarik-narik
dan menidurkan tubuh kita
sebagai anak-anak pulas
yang papa.

Dan seperti capung-capung
atas tangkai-tangkai jagung itu,
kita ialah pendatang sementara
atas apa saja, atas siapa saja.

Tatkala waktu
tinggal kulit-kulit gabah
di telapak-telapak kaki kita,
sawah-sawah itu seperti mengerti
bagaimana kepedihan disimpan
sebelum dibulirkan.

Di sini,
di seberang Gunung Sawal
yang menegak, bisu dan sabar.
Tak mesti kita terka lagi
bahwa usia adalah bahasa lain
untuk menundukkan kepala.

Dan tak mesti kita seka juga
kata-kata penghabisan cinta silam
yang menggelincir dari mata
sebagai puisi yang paripurna.

2018

(Willy Fahmy Agiska. 2019, Cet. ke-2. Mencatat Demam. Yogyakarta: Kentja Press)
 -------------------------------------------------------


PUISI-PUISI BABAK FINAL


Chairil Anwar
CINTA DAN BENCI

Aku tidak pernah mengerti
Banyak orang menghembuskan cinta dan benci
Dalam satu napas
Tapi sekarang aku tahu
Bahwa cinta dan benci adalah saudara
Yang membodohi kita, memisahkan kita
Sekarang aku tahu bahwa
Cinta harus siap merasakan sakit
Cinta harus siap kehilangan
Cinta harus siap untuk terluka
Cinta harus siap untuk membenci
Karena itu hanya cinta yang sungguh-sungguh mengizinkan kita
Untuk mengatur semua emosi dalam perasaan
Setiap emosi jatuh….. keluarlah cinta
Sekarang aku mengetahui
Implikasi dari cinta
Cinta tidak berasal dari hati
Tapi cinta berasal dari jiwa
Dan zat dasar manusia
Ya, aku senang telah mencintai
Karena dengan melakukan itu aku merasa hidup
Dan tidak ada orang yang dapat merebutnya dariku
-----------------------

WS Rendra

SAJAK SEBATANG LISONG

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
               
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.

Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
----------------------------  

Sutardji Calzoum Bachri
JEMBATAN

Sedalam-dalam sajak takkan mampu
menampung air mata bangsa
Kata-kata telah lama terperangkap
dalam basa-basi dalam ewuh perkewuh
dalam isyaraat dan kilah tanpa makna

Maka aku pun pergi menatap
pada wajah orang berjuta
Wajah orang jalanan yang berdiri satu kaki
dalam penuh sesak bis kota
Wajah orang tergusur
Wajah yang ditilang malang
Wajah legam pemulung yang memungut
remah-remah pembangunan
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar
penonton etalase indah di berbagai plaza

Wajah yang diam-diam menjerit melengking
melolong dan mengucap:
Tanah air kita satu
Bangsa kita satu
Bendera kita satu
Tapi wahai saudara satu bendera,
Kenapa kini ada sesuatu yang terasa jauh berbeda di antara kita ?

Sementara jalan-jalan mekar di mana-mana
menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan tumbuh kokoh
merentangi semua sungai dan lembah yang ada
Tapi siapakah yang mampu menjembatani jurang di antara kita ?
Di lembah-lembah kusam pada pucuk tulang kersang
dan otot linu mengerang
mereka pancangkan koyak-moyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara
Gerimis tak mampu menguncupkan kibarannya
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi:
Padamu negeri
Air mata kami
Kriapur (Kristianto Agus Purnomo)
---------------------------- 

Kriapur (Kristianto Agus Purnomo)
SAJAK BAGI NEGARAKU

di tubuh semesta tercinta
buku-buku negeriku tersimpan
setiap gunung-gunung dan batunya
padang-padang dan hutan
semua punya suara
semua terhampar biru di bawah langitnya
tapi hujan selalu tertahan dalam topan
hingga binatang-binatang liar
mengembara dan terjaga di setiap tikungan
kota-kota
di antara gebalau dan keramaian tak bertuan
pada hari-hari sebelum catatan akhir
musim telah merontokkan daun-daun
semua akan menangis
semua akan menangis
laut akan berteriak dengan gemuruhnya
rumput akan mencambuk dengan desaunya
siang akan meledak dengan mataharinya
dan musim-musim dari kuburan
akan bangkit
semua akan bersujud
berhenti untuk keheningan
pada yang bernama keheningan
semua akan berlabuh
bangsaku, bangsa dari segala bangsa
rakyatku siap dengan tombaknya
siap dengan kapaknya
bayi-bayi memiliki pisau di mulut
tapi aku hanya siap dengan puisi
dengan puisi bulan terguncang
menetes darah hitam dari luka lama

Solo, 1983
------------------------------------------------------

Acep Zamzam Noor
PERNYATAAN CINTA

Kau yang diselubungi asap
Kau yang mengendap seperti candu
Kau yang bersenandung dari balik penjara
Tanganmu buntung karena menyentuh matahari
Sedang kakimu lumpuh

Aku mencintaimu
Dengan lambung yang perih
Pikiran yang dikacaukan harga susu
Pemogokan serta kerusuhan yang meletus
Di mana-mana. Darah dan airmataku tumpah
Seperti timah panas yang dikucurkan ke telingan
Kubayangkan tanganmu yang buntung serta kakimu
Yang lumpuh. Tanpa menunggu seorang pemimpin
Aku mereguk bensin dan menyemburkannya ke udara
Lalu bersama mereka akumelempari toko
Membakar pasar, gudang dan pabrik
Sebagai pernyataan cinta

Betapa menyedihkan mencintaimu tanpa kartu kredit
Tanpa kamar hotel atau jadwal penerbangan
Para serdadu berebut ingin menyelamatkan bumi
Dari gempa dahsyat. Kuda-kuda menerobos pagar besi
Anjing-anjing memercikkan api dari sorot matanya
Sementara aku melepaskan pakaian dan sepatu
Ternyata mencintaimu tak semudah turun ke jalan raya
Menentang penguasa atau memindahkan gunung berapi
ke tengah-tengah kota

Aku berjalan dengan membawa kayu di punggungku
Seperti kereta yang menyeret gerbong-gerbong kesedihan
Melintasi stasiun-stasiun yang sudah berganti nama
Kudengar bunyi rel yang pedih tengah menciptakan lagu
Gumpalan mendung meloloskan diri dari mataku
Menjadi halilintar yang meledakkan kemarahan
Pada tembok dan spanduk. Aku mencintaimu
Dengan mengerat lengan dan melubangi paru-paru
Aku mencintaimu dengan menghisap knalpot
Dan menelan butiran peluru

Wahai kau yang diselubungi asap
Wahai kau yang mengendap seperti candu
Wahai kau yang terus bersenandung meskipun sakit dan miskin
Wahai kau yang merindukan datangnya seorang pemimpin
Tunggulah aku yang akan segra menjemputmu
Dengan sebotol minuman keras

1998

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "ANTOLOGI PUISI LOMBA BACA PUISI ANUGRAH DEWI SARTIKA 2019 DAN KETENTUAN LOMBA"

Posting Komentar