Ceracau tentang Estetika
Kiranya
kita memang memasuki era instanisasi sebagai dampak dari penemuan teknologi kominikasi
dan informasi. Apa-apa yang terjadi, di belahan manapun, selama memiliki
android, ada kuota dan jaringan, maka dengan mudah bisa diwartakan. Tidak
seluruhnya buruk dengan adanya kemudahan ini, terutama bagi mereka yang telah
memiliki kuda-kuda estetik yang kuat. Penemuan teknologi konvergentif itu,
justru jadi berkah. Para penyair senior yang kuat kuda-kudanya dan punya jurus
maut, yang semula mungkin akan pensiun, kini kembali turun gunung, untuk
berkhotbah dan memberikan tausiah estetiknya. Sungguh ini suatu yang bagus,
sebab pengetahuan yang bersifat best
practise, perlu diregenerasikan agar tidak lenyap bersama wafatnya sang kalangwan
(penyair).
Kenapa
penyair yang saya sebut, dan bukan misalnya penulis artikel?
Sebelum ada
para penulis artikel dan penulis cerita, penyair sudah duluan ada di muka bumi,
tepat setelah Tuhan bersabda untuk yang pertama kalinya kepada mahluk bernama
manusia. Bapak Adam, leluhur kita itu, adalah penyair romantik dan melankolik, yang
dapat kita cerna melalui puisi pastoral-nya, yang sering didawamkan di
mesjid-mesjid jelang Subuh atau Magrib: Robbana, dolamna amfunasa, wa illam
tagfirlana, wa tarhamna, lakunana minal khosirin (Ya Tuhanku, aku telah
memperkelam diri, dan seandainya tiada maaf, juga tiada seberkas cahaya kasih,
betapa aku akan terpuruk dalam kerugian yang nyata). Ratapan Adam itu,
diabdikan dalam hollybook, dalam surat tentang Sapi Betina (al-Baqoroh).
Sebelum
ada raja dan adipati, panji dan aryo, temenggung dan wedana, penyair telah
duluan berdaulat di muka bumi. Juga sebelum ada presiden dan anggota parlemen,
penyair duluan lahir untuk menyampaikan konsepsi tentang pembangunan manusia dan
bangsa. Penyair yang sungguh-sungguh, lebih bermanfaat dari pejabat yang degil.
Nah, era
konvergentif di bidang teknologi ini, dengan anak emasnya berupa sosmed, amat
bermanfaat untuk memanggil para penyair yang telah menjadi pertapa, agar
kembali menggeliat. Mereka harus melihat realita terkini, dan saya berharap
lahir pencerahan-pencerahan dengan kemasan baru. Sesungguhnya tidak ada yang
benar-benar baru di muka bumi ini, sebagaimana dikemukakan orang Inggris:
Nothing new under The Sun. Tapi kemasan baru, itu yang kiranya selalu muncul ngigelan jaman.
Para
kalangwan (penyair) yang telah mencapai jalan makrifat, harus diojok-ojok namun
bukan untuk dielu-elukan. Mereka tetap harus menjadi pembanding dan pembeda
dari para penyair calon yang kini bertebaran di sosmed. Gila sungguh, eh
sungguh gila, saya menerima sekian ceramah dan khotbah dari anak kemarin yang
baru seumuran jagung, yang disampaikan lewat messengger. Tapi kudengarkan saja bayi
itu menceracau dan meyakini pendapatnya. Bayi itu berkata, “Ngapain gua harus ikutan
lomba cipta puisi, karena belum tentu menang. Ngapain susah-susah ngirim puisi
ke koran yang selektif itu, toh belum tentu dimuat, dan belum tentu dibaca
teman-teman gua. Emangnya ada anak milenial yang baca koran? Mendingan ya
disampaikan lewat youtube, mudah diakses pula!”
Khotbah
bayi itu, gegara saya menyampaikan saran begini, “Bagus loh tayangan di
youtube-nya, saya mau belajar dong bikin video yang seperti itu. Namun kalau
boleh saran, coba puisinya diasah dan diadukan dulu, disuruh tanding, coba
kirim ke koran atau ikut lomba!”
Saran
dibalas dengan picingan. Hek!
Hal yang
buruk dari sosmed itu, bisa melahirkan jutaan komet yang melesat begitu cepat,
lalu lenyap dicerna buana, tanpa jejak dan nyaris un-faedah! Calon-calon komet
itu jelas tidak memandang penting belajar dari sejarah. Bahwa telah ada jutaan
artis di muka bumi ini, dari waktu ke waktu, yang datang melejit namun tak
perlu waktu lama, kembali terpuruk lalu ambruk. Norman Kamaru, atau brigadir
yang melepas kedudukannya sebagai PNS Polri, karena uang saat itu sedang
mengejar-ngejarnya, setelah ulahnya jadi viral, adalah salah satu contoh yang
barangkali orang sudah lupa. Norman Kamaru yang sempat jadi buah bibir
infotainment itu, kini jadi pedagang bubur yang mudah mengeluh, disebabkan
bubur dagangannya kurang laku, tapi semoga saja belum laku.
Kuda-kuda
estetik memang harus kokoh, bahkan konsepsi tentang kadaulatan estetik, juga
harus dimiliki, sebelum berselancar di negeri maya yang bernama sosmed itu.
Tetapi apakah esetetika?
Berkali-kali
sering saya paparkan, estetika adalah rentetan terakhir dari potensi yang
dimiliki manusia, setelah aras logika dan ranah etika. Susunan Logika, Etika,
Esetetika adalah penemuan Yunani Kuna yang amat bernilai, yang jadi sebab
lahirnya filsafat dan teknologi modern seperti kita nikmati sekarang ini.
Logika
ialah sebuah berkah bagi manusia, yang harus disyukuri dengan jalan mengasahnya
terus- menerus, agar tajam berkilau, dan mampu menjadi pisau analisis yang
tajam. Logika memang menjadi potensi jiwa manusia yang pertama, baik menurut
konsepsi Barat, maupun menurut qowaid dalam Quranul Karim. Logika dalam bahasa
agama, adalah apa yang disebut dengan akal. Agama itu sendiri, diturunkan hanya
untuk orang yang berakal. Jika akalnya tidak waras, tidak dikenai hukum atau
kewajiban untuk menjalankan agama. Pendapat tersebut, adalah menurut para Wahabiah
dengan mengambil dalil dari hadits yang berbunyi rufial qolamu an tsalatsatin,
aninnaimi hatta yastaiqodo, wa annisshobiyi hatta yahtalima, wa anil majnuni
hatta yaqila (tidak dikenai hukum wajib bagi tiga golongan, yaitu orang tidur
hingga ia bangun, anak kecil hingga ia dewasa, dan orang yang tidak waras
hingga kembali berakal).
Lema ‘akal’ berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘aql’ yang artinya
berpikir. Kosakata akal ’aql’ disebutkan dalam Quran sebanyak 49 kali. Derivasi
kata kerja ta’qilun, diulang
sebanyak 24 kali, derivasi kata kerja ya’qilun diulang
sebanyak 22 kali, dan derivasi kata kerja ’aqala,
na’qilu, dan ya’qilu masing-masing
terdapat satu kali. Yang menarik, terdapat penggunaan bentuk pertanyaan negatif
(istifham inkari’) yang bertujuan memberikan dorongan dan membangkitkan
semangat, seperti kata “afala
ta’qilun” (apakah kalian tidak berpikir), diulang-ulang sebanyak 13
kali dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah firman kepada Bani Israel sekaligus kepada
kita agar tidak seperti itu, dalam Surat Al-Baqoroh ayat 44; أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
(Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan
diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?
Nah lalu,
mereka yang telah sampai pada logika yang waras atau common sense, akan
mengetahui seperangkat aturan atau tatacara. Aturan atau tatacara itulah yang
disebut dengan etika.
Ranah
etika terbagi ke dalam tiga parsial, yaitu etika normatif, etika metodologis,
dan etika teknikal.
Etika
normatif semuanya bermuara pada nilai yang intangible (tak nampak). Ada dua
norma, sebagaimana disepakati para ilmuan, yaitu norma yang tertulis atau
konstitusi, dan norma yang tidak tertulis atau konvensi. Di neraga kita, ranah
etika normatif ini terasa riuh karena campur baur antara etika yang bersumber
dari kontitusi (perundang-undangan), dengan yang berasal dari konvensi agama
atau adat. Jika sebagian yang satu memaksakan kepada sebagian yang lain akan
etika yang diyakininya benar, namun tanpa dinalar dengan radikalisme logika,
maka akan terjadi perbenturan. Saling serang antara ustda dengan pendeta di
youtube, adalah contoh adanya perbenturan etika normatif yang masing-masing
merasa sudah paling benar, dan tiada lagi kebenaran selain pendapatnya.
Lalu etika
metodologis adalah apa yang disebut dengan teori atau rumus dalam ilmu
matematika. Sesuatu yang harus dijalankan dengan memijak pada ‘rel’ yang sudah
ditentukan. Bila keluar dari rel, maka tidak akan sampai pada stasiun yang
dituju, sebab penempuhan jalan telah melenceng dari rel-nya. Resep makanan,
atau rumus script dalam dunia web, bisa dicontohkan masuk ke dalam kategori
etika metodologis.
Parsial terakhir,
Etika Teknikal itu berkait dengan kemampuan teknik, seperti dalam dunia sport.
Cara mendribling bola, ada ketentuannya yang paling praktis. Cara menyetop bola
yang diumpan melambung dengan kencang, ada etikanya yang paling praktis tanpa si
bola itu memantul.
Nah,
barangsiapa yang bisa bertindak dengan menyelaraskan ketiga parsial etika itu,
ia akan tampak memukau atau indah, atau sudah nyeni.
Etika memang
harus diafirmasi oleh hukum akal waras, agar melahirkan suatu aksi yang
memikat. Aksi yang memikat itulah yang disebut dengan pukauan, atau dalam
bahasa Latin disebut dengan aesthetic. Kesenian, adalah salah satu cabang dari
estetika. Sekarang ini, semua norma kesenian telah lebur. Pure art, hight art,
low art, telah dihilangkan batas dan sekatnya. Memisahkan seni murni dari seni
terapan, adalah ketinggalan jaman. Sebab memang, semua bidang mengandung unsur
keseniannya masing-masing. Barat telah mengacaukan definisi estetika yang
mereka canangkan, dengan pembagan seni murni dan seni terapan. Barat pula yang
kemudian mulai membongkar kembali batasan yang mereka buat. Sayangnya, seniman
bangsa kita hanya pengekor dari konsepi yang dimaklumatkan oleh mereka. Padahal
bangsa ini punya konsepsi tersendiri tentang estetika, yaitu apa yang disebut
dengan wirahma, wirasa, dan wiraga.
Saya
membaca sekian puisi yang masuk lewat berbagai grup perpuisian di facebook, dan
terlalu banyak puisi yang tidak logis, menurut ukuran logika yang pernah saya
canangkan dalam perpuisian. Banyak orang yang berpendapat, puisi itu tidak
membutuhkan logika, dan karena itu boleh tidak logis. Tapi saya tetap
bersikukuh pada pendapat, bahwa puisi harus logis menurut logika inderawi,
logika bahasa, dan logika komunikasi. Boleh Anda melanggar ketika logika
tersebut, dengan catatan, puisi Anda bisa diibaratkan sebagai orang gila yang
melantur di hadapan tembok atau di jalanan. Puisi yang seperti itu, di era
sosmed ini, bisa menjadi komet yang melesat begitu cepat, namun segera susut
dan sirna dicerna buana, tanpa bekas dan un-faedah!
0 Response to "KOMET MELESAT TAK BERBEKAS"
Posting Komentar